Atas dedikasinya, ia dianugerahi Satyalancana Kebudayaan (2024) dan dijuluki "Profesor Ludruk"
Senja itu, udara di Padepokan Sastra Mpu Tantular terasa syahdu. Tanggal 19 April 2025 menjadi momen khusus bagi keluarga, sahabat, dan pecinta budaya untuk mengenang dua tahun kepergian Henricus Supriyanto— guru besar, budayawan dan pelestari Ludruk asal Malang penerima Satyalancana Kebudayaan 2024. Acara yang digelar di sebuah rumah di kawasan Mangliawan, Pakis, Kabupaten Malang, ini bukan sekadar acara peringatan, melainkan juga sebuah upaya menghidupkan kembali semangat almarhum dalam merawat literasi dan kebudayaan Indonesia.
![]() |
Almarhum Henricus Supriyanto (Melipirnews/Latifa) |
Ruang Pustaka yang Menyimpan Jejak Pemikiran
Acara ini juga menjadi perayaan pembukaan kembali ruang pustaka di basement rumah tinggal almarhum. Ruangan ini bukan sekadar tumpukan buku, melainkan "ruang hidup budaya" yang menyimpan lebih dari 6.000 koleksi pribadi Prof. Henricus. Sejak 2001, perpustakaan ini telah menjadi saksi lahirnya ide-ide besar, diskusi intensif para akademisi, serta tempat para peneliti dan seniman menggali inspirasi.
Di sini, buku-buku bukan benda mati. Mereka adalah teman dialog, sumber pengetahuan, dan warisan yang harus terus dihidupkan. Kini, gaung ruang pustaka itu sebagai pusat literasi dan budaya kembali bergema, menyebarkan semangat Prof. Henricus yang tak pernah padam.
Komunitas Patron Perpustakaan Padepokan Sastra Mpu Tantular lahir dari visi Prof. Henricus untuk menciptakan ruang temu antara akademisi, seniman, dan penikmat sastra. Komunitas ini bersifat lintas generasi, menyatukan mahasiswa, peneliti, praktisi budaya, hingga penulis muda.
Awalnya, perpustakaan ini hanya berisi koleksi pribadi Prof. Henricus. Namun, seiring waktu, berkembang menjadi pusat riset dan dokumentasi budaya. Beberapa koleksi langka, termasuk naskah-naskah kuno, hasil penelitian kebudayaan, dan arsip pertunjukan Ludruk, tersimpan rapi di sini. Untuk menjaga keberlangsungan komunitas, Padepokan Sastra Mpu Tantular membuka sistem keanggotaan dengan berbagai manfaat.
Selain tiket harian senilai 5 ribu rupiah, Padepokan Sastra Tan Tular membuka keanggotaan mulai dari kategori Perunggu senilai 25 ribu rupiah hingga kategori emas senilai 110 ribu rupiah.
Prof. Henricus Supriyanto: Pelestari Ludruk dan Pejuang Kebudayaan
Henricus Supriyanto (1942–2023) adalah sosok multidimensi—akademisi, budayawan, dan pelestari ludruk yang legendaris. Kecintaannya pada ludruk tumbuh sejak kecil di Malang, tempat ia kerap membantu pementasan grup ludruk pamannya. Sepanjang hidupnya, ia berhasil menggabungkan dunia akademik, jurnalistik, dan seni tradisi dengan gemilang.
Ia mendirikan Ludruk Mahasiswa Malang (1968), menulis naskah ludruk berbahasa Indonesia untuk TVRI (1993), dan meraih gelar doktor dengan disertasi tentang analisis postkolonial ludruk (2006). Sebagai Guru Besar Kajian Budaya di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), ia mendirikan berbagai lembaga kebudayaan, termasuk Paguyuban Organisasi Ludruk Malang (POLMA) dan Dewan Kesenian Kabupaten Malang. Padepokan Sastra Mpu Tantular, perpustakaannya yang berisi 6.000 koleksi, menjadi pusat riset kebudayaan.
Atas dedikasinya, ia dianugerahi Satyalancana Kebudayaan (2024) dan dijuluki "Profesor Ludruk". Warisannya kini hidup melalui karya, tulisan, dan generasi penerus yang terus merawat Ludruk dan literasi Indonesia.
Komunitas Patron Perpustakaan Padepokan Sastra Mpu Tantular menjadi bukti bahwa pemikiran dan dedikasi Prof. Henricus tetap relevan—bahkan semakin berkembang. Literasi dan budaya bukan sekadar pengetahuan, melainkan napas peradaban. Dan di Padepokan Sastra Mpu Tantular, napas itu masih terasa hangat.
Melipirnews/Latifah
Komentar
Posting Komentar