Suasana di Gedung Samantha Krida Universitas Brawijaya, Malang, pada 19 April 2025, berdenyut penuh semangat kebudayaan.
Mata para pengunjung terpukau menyaksikan keindahan bilah-bilah besi yang sarat makna filosofis dalam Brawijaya Tosan Aji Fest: International Contemporary Keris Fest. Terlintas denting palu menempa logam terdengar bersahutan, yang bercerita tentang tradisi yang tetap hidup di tengah arus modernisasi. Setiap keris yang dipamerkan bukan sekadar senjata, melainkan mahakarya yang menyimpan kisah kejayaan masa lalu dan inovasi masa kini.
![]() |
Keris-keris koleksi Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang dipamerkan (Melipirnews/Latifah) |
Momen bersejarah pun tertoreh ketika Menteri Kebudayaan Fadli Zon secara resmi menetapkan 19 April sebagai Hari Keris Nasional. Tanggal ini dipilih karena bertepatan dengan Kongres Pertama Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) pada 19 April 2006 di Surakarta. Penetapan ini menandai babak baru dalam pelestarian keris sebagai simbol jati diri bangsa dan warisan dunia.
Keris bukanlah senjata biasa. Ia adalah karya adiluhung yang lahir dari perpaduan antara keahlian teknik tinggi dan kedalaman spiritualitas. Proses penciptaannya melibatkan berbagai tangan terampil dan keilmuan: hangandring sebagai penempa besi, hanggaluh yang menghias dengan logam mulia, mranggi sang pembuat warangka, juru sangling dan juru landep yang menghaluskan serta menajamkan bilah.
Bahkan, seorang empu tidak hanya menguasai seni metalurgi, tetapi juga ilmu spiritual, psikologi, bahasa simbol, serta sastra. Tak heran jika hasil karyanya memiliki pamor—motif khas yang lahir dari perpaduan material seperti besi, baja, meteorit, dan nikel, ditempa berulang hingga menghasilkan guratan-guratan penuh makna. Keris seolah hidup dan memiliki jiwa.
Baca juga: Antara Pariwisata dan Pelestarian: Dilema Borobudur dalam Perpres 101 Tahun 2024
Jejak sejarah keris sudah tertulis dalam prasasti dan relief sejak abad ke-9 M. Prasasti Karang Tengah (842 M), Tuk Mas (875 M), dan Rukam (907 M) menyebut keberadaan kriss sebagai sesaji, sekaligus menyebut profesi pandai besi. Di relief Candi Sukuh abad ke-14, terlihat jelas seorang pria dengan keris terselip di pinggangnya. Semua ini menandakan bahwa keris telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat sejak lama—bukan sekadar alat tikam, tetapi juga lambang status sosial, kehormatan, hingga spiritualitas.
Secara fungsional, keris memang termasuk senjata tikam jarak dekat, digunakan oleh para prajurit dan masyarakat umum. Namun, seiring waktu, ia mengalami perluasan makna. Di lingkungan keraton, jumlah dan bentuk keris yang dikenakan menunjukkan pangkat dan kedudukan seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, keris menjadi pelengkap busana adat yang dikenakan dalam upacara pernikahan, penobatan, hingga ritual kematian. Bahkan, perempuan Jawa mengenakan patrem—keris kecil sebagai aksesori, perlengkapan menari, sekaligus alat perlindungan diri.
![]() |
Keris-keris yang dipamerkan di Brawijaya Tosan Aji Fest: International Contemporary Keris Fest (Melipirnews/Latifah) |
Dalam budaya Jawa, keris hadir dalam setiap daur hidup manusia. Sejak dalam kandungan, kelahiran, akil baligh, pernikahan, hingga wafat, keris selalu menyertai. Ia bukan hanya benda, melainkan penghubung antara manusia, leluhur, dan Tuhan. Keris diwariskan turun-temurun, menjadi simbol kedewasaan, tanggung jawab, dan kehormatan laki-laki dalam keluarga. Di sisi lain, ia juga memuat identitas etnik dan pemaknaan spiritual yang mendalam.
Keragaman budaya Nusantara memperkaya makna keris. Di Bali, keris dianggap sebagai pusaka sakral dan disucikan dalam upacara khusus. Ia hadir dalam Panca Yadnya, sebagai persembahan kepada dewa, leluhur, dan alam semesta. Dalam konsep spiritual masyarakat Bali, keris memiliki taksu—daya spiritual yang harus dijaga melalui ritual pembersihan dan pemujaan.
Sementara itu, di Nias, keris merupakan simbol keperkasaan dan kehormatan. Laki-laki dewasa wajib mengenakannya dalam pakaian adat. Bentuk bilahnya yang lurus dan tebal mencerminkan semangat juang masyarakat Nias, dan setiap tahun, keris ini turut diupacarai agar kekuatannya tetap terjaga.
Di era kekinian, keris terus berevolusi tanpa kehilangan roh tradisinya. Brawijaya Tosan Aji Fest tidak hanya memamerkan keris-keris kuno, tetapi juga menampilkan karya kontemporer dengan material baru seperti baja modern dan lapisan nikel. Keris adalah living heritage yang harus dilihat sebagai simbol identitas, bukan mitos usang.
Baca juga: Melipir Mewarnai Gerabah di Museum Benteng Vredeburg
Penetapan Hari Keris Nasional menjadi pengingat bahwa keris adalah jiwa budaya Nusantara yang harus terus hidup. Melalui festival seperti ini, warisan leluhur tidak hanya dilestarikan, tetapi juga diadaptasi agar relevan dengan zaman. Sebab, seperti bilah keris yang ditempa berulang kali, kebudayaan pun harus terus mengalir—kuat, lentur, dan penuh makna.
Melipirnews/Latifah
Komentar
Posting Komentar