H.A. Mudzakir, Santri dan Seniman Langka yang Pernah Dimiliki Jepara

Haji Masagung, pendiri Gunung Agung yang mendirikan toko buku di kawasan Kwitang  terkesan dengan ukiran kaligrafi H.A. Mudzakir dan kemudian berkawan akrab
H.A. Mudzakir, seniman kaligrafi dan qori asal Jepara (1945-2016) (Dok. Istimewa)

Jika melewati Jalan Pemuda Jepara, Jawa Tengah, di tepi jalan terpampang rumah dengan model seperti di negeri-negeri dongeng. Ramai dengan menara-menara bulat menjulang. Di situlah saksi bisu ketangguhan seni ukir kayu Jepara berada. Khususnya seni ukir kaligrafi Alquran. 

Produk kayu yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menghasilkan model-model lembaran maupun gebyok berdiri kokoh yang terpahatkan lafad-lafad dan ayat-ayat Alquran dari kediaman ini telah mewarnai kebangkitan dunia santri di masa Orde Baru. Haji Masagung, pendiri Gunung Agung yang mendirikan toko buku di kawasan Kwitang dan tidak jauh dari Tugu Tani, Menteng, Jakarta Pusat, terkesan dengan ukiran kaligrafi produk dari rumah ini. Di toko buku yang pernah sangat terkenal pada jamannya, disediakan tempat khusus menawarkan produk ukiran dari sini. 

Baca juga: Menghidupkan Kembali Warisan Literasi dan Budaya di Padepokan Sastra Mpu Tantular

Sebagai santri yang juga aktif di lingkungan Nadhlatul Ulama (NU),membawa sosok santri dan seniman ini pada perkenalan dengan tokoh-tokoh nasional. Hamzah Haz, Wakil Presiden Republik Indonesia 2001-2004 mengenal dekat produk kaligrafi ini. Hasyim Muzadi, Ketua PBNU tahun 1999-2010 bahkan pernah mengunjungi kediaman ini yang juga menjadi show room untuk karya-karya kaligrafi ukiran kayu yang memiliki cita rasa tinggi. Ajudan Presiden Abdurrahman Wahid pun juga pernah bertandang ke sini memesan banyak lembaran kayu ukiran kaligrafi untuk suvenir kunjungan presiden ke luar negeri. Jika kini di tempat itu masih bisa dijumpai kaligrafi-kaligrafi dari kayu jati, maka itu tidak lepas dari peninggalan seniman ukir sekaligus santri yang pernah dimiliki Jepara, H. A. Mudzakir.

Saat masih aktif berkarya, Mudzakir bukan hanya dikenal sebagai seniman kaligrafi ukir Jepara yang handal, melainkan juga seorang qori, yaitu pelantun ayat Alquran yang sering diperdengarkan pada saat acara pembukaan seremonial acara keluarga maupun acara-acara keagamaan publik di wilayah Jepara, khususnya sekitar wilayah Jepara kota. Pada diri Mudzakir, bakat tarik suara dan ukiran kaligrafi Alquran sedemikian menyatu, hal yang tidak lumrah di kalangan Muslim santri di Indonesia. 

Kini, bakat kesenimanan Mudzakir mengalir pada putra pertamanya, Fuad Hasyim yang meneruskan kepiawaiannya dalam mengukir kaligrafi.  

Tumbuh di Kawasan Santri yang Kritis Terhadap Orde Baru

Jepara terlanjur terkenal dengan kota mebel dan ukir. Tangan-tangan terampil disertai sentuhan seni hampir merata dimiliki para pengukir dengan berbekal alat tatah dan desain. Desa-desa utama yang menjadi sentra kerajinan ukir itu seperti di Desa Mulyoharjo, dan juga Desa Senenan. Lalu, tokoh masa lalu seperti Sunan Hadirin dan Ki Sungging Badarduwung banyak disinggung karena mewariskan ketrampilan seni kaligrafi di kalangan masyarakat Kudus dan Jepara. 

Seperti dituturkan Fuad Hasyim (Kamis, 24 April 2025), ayahandanya lahir sekitar tahun 1945 dan tumbuh di lingkungan mebel dan juga seni ukir di Desa Saripan, Kecamatan Jepara. Saat itu seni ukir Jepara masih sangat didominasi gaya ukiran istana, seperti ukiran gaya Pajajaran, Majapahit dan Mataram. Ukir kaligrafi ayat-ayat Alquran masih sangat jarang. "Kakek kami keluarga produsen mebel biasa. Belum mengenal seni ukir, apalagi ukiran ayat Alquran. Baru ayah saya di antara anak-anak kakek kami yang menerjuni dunia seni ukir, apalagi ukir kaligrafi Alquran", terangnya. 

Saripan ini juga dikenal kampung santri. Kajian keislaman marak pada jaman Mudzakir kecil, hingga membentuk pribadi-pribadi yang kuat sebagai seorang pecinta ilmu keislaman klasik, atau yang disebut santri. Mudzakir pun tidak terhindarkan juga memiliiki gelora keislaman dan dakwah yang cukup tinggi. Terlebih ia memiliki bakat suara untuk melantunkan kalam ilahi. 

Selepas menamatkan pendidikan di kampung halaman, di masa remajanya sekitar tahun 1960an awal, ia berguru dan menjadi santri di Pondok Pesantren Tayswiquth Thullab Salafiyah (TBS), Kudus, yang diasuh oleh Kyai Arwani, yang dikenal sebagai ahli Alquran itu. Di pesantren ini, ia seangkatan dengan seniman kaligrafi kondang asal Kudus, Nur Aufa Shiddiq yang juga menjadi kawan karibnya. 

Selepas di TBS Kudus, kemudian melanjutkan petualangannya menjadi santri ke Kota Malang, Jawa Timur.  Di kawasan Malang ini, selain ingin berguru, ia juga ingin mencari orang Saripan yang sudah dikenalnya, yang didengarnya mendirikan pondok pesantren di kota dingin itu. Pesantren itu terletak di wilayah Mergosono. Benarlah, ia pun menjadi santri di Pondok Pesantren Nurul Huda yang diasuh Kyai Achmad Masduqi Machfudz, orang dari Saripan yang dicarinya itu, yang kemudian menjadi ulama besar di Jawa Timur. 

Dahaga akan keilmuan khususnya seni membaca dan melantunkan Alquran belumlah berhenti, hingga kemudian membawanya menimba ilmu ke Pekalongan, Jawa Tengah. Tepatnya pada Kyai Abdul Latief yang mendirikan majelis atau mirip pesantren yang dinamakan  "Jam'iyyatul Qurra' Kradenan". Mudzakir sempat beberapa saat lamanya belajar khusus tilawah Alquran di sini. Era setelah ia pergi meninggalkan pesantren ini, barulah masuk Muammar ZA, yang kemudian menjadi qori internasional yang berasal dari Indonesia itu. 

Baik semasa masih belajar di TBS Kudus, di Nurul Huda, Malang dan di Pekalongan ini, ia menekuni dunia tilawah, atau pembacaan ayat suci Alquran dan turut dalam berbagai lomba. Beberapa perlombaan yang berhasil menempatkannya di juara 1, yakni MTQ tingkat dewasa se-kabupaten Jepara dari tahun 1966-1976. Lalu pernah menjadi juara 1 MTQ tingkat dewasa se-kota madya Malang tahun 1967, kemudian menjadi juara 1 MTQ tingkat dewasa se-karisidenan Pati, tahun 1972 dan juara 2 MTQ tingkat dewasa se-provinsi Jawa Tengah tahun 1973. Sebagai qori', dirinya juga pernah diundang di Serawak, Malaysia di acara komunitas Islam Dayak sekitar awal 1980-an. 

Namanya sudah melambung sebagai qori'. Selain mengikuti musabaqah atau perlombaan demi perlombaan itu, ia juga diundang tampil menjadi qori' untuk berbagai acara, baik di rumah-rumah maupun di kantor-kantor, khususnya di wilayah Jepara. Namun ia menyadari menjadi qori' bukan merupakan profesi. Menjadi pegawai pemerintah juga bukan pilihan karena di Siripan, dan juga di kawasan santri lainnya di Jawa pada umumnya, menjadi pegawai pemerintah dianggap berada di area remang-remang (syubhat) yang tidak begitu jelas kehalalan penghasilannya. Maklumlah, semangat antikolonialisme masih membara.

Bagi masyarakat Siripan, mengolah kayu menjadi berbagai bentuk perabotan rumah tangga juga telah menjadi rutinitas. Namun Mudzakir berpikir, ia yang juga belajar Alquran, dan sudah mahir mengukir, membuat ukiran kaligrafi Alquran merupakan pilihan yang perlu dicoba. Selain itu, ukiran kaligrafi Alquran masih sangat jarang saat itu. Sejak itulah, ia memutuskan mulai terjun menekuni seni ukir kaligrafi Alquran. 

Mengenalkan Teknik Sulam Pita pada Kaligrafi Alquran di Jepara

Menerjuni dunia seni ukiran kaligrafi bagi Mudzakir bukan saja mengikuti gaya yang ada, melainkan ia mengenalkan teknik ukiran yang sebelumnya dianggapnya janggal. Jika banyak ukiran kaligrafi Alquran sebelumnya khusus pada kharakat (tanda baca) diputus jika bersinggungan dengan huruf, maka bagi Mudzakir dari sisi keilmuan Alquran tanda baca yang diputus itu harusnya disambung dengan cara disulam seperti anyaman. Dari sinilah Mudzakir mengenalkan teknik baru yang dikenal dengan teknik sulam pita. 

"Waktu itu kan tidak semua ahli kaligrafi itu paham bagaimana menulis dan membaca Alquran yang benar. Jadi wajar banyak yang kurang sempurna. Bagi bapak saya, karena mengerti membaca dan dan menulis Alquran, gaya kharakat yang dipotong itu tetap tersambung dengan cara disulamkan", terang Fuad Hasyim, yang semasa ayahnya masih hidup sering diminta untuk mengoreksi kelengkapan ayat-ayat yang tertulis dalam desain kaligrafi ayahnya.

Bagi Fuad Hasyim, ayahnya sangatlah mementingkan kualitas dan pakem dalam memproduksi ukiran kaligrafi. Tidak asal memburu rupiah. Apalagi latar belakang ayahandanya yang juga seorang santri. "Dalam menggarap ukiran, utamanya membuat desain, bapak saya selalu mementingkan dalam kondisi punya wudhu. Sebagai pengagum khat (jenis tulisan) model tsulus, yang menuntut kerapatan, produk ukiran bapak saya dikenal sangat rengket, padat dan tidak ada yang jarang-jarang jarak antarhuruf dan kharakat-nya", lanjutnya. 

Lanjutnya, selain gaya sulam pita, karya ayahnya juga dikenal dengan ornamen kecilnya karena tidak jarang muncul ornamen berbentuk daun-daun kecil dan ranting yang menyertai karya kaligrafinya. Hal inilah yang membuat pengerjaan itu memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Apalagi jika kaligrafi itu merupakan pesanan dari klien. Bagi Mudzakir, kualitas dari hasil karya kaligrafinya merupakan nomor satu. 

Mendirikan El Surayya Art dan Pembuatan Master Piece Kaligrafi Surat Yasin

Seiring dengan semakin tingginya permintaan pasar, maka didirikanlah perusahaan yang dinamakan El Surayya Art pada sekitar awal tahun 1980-an. Permintaan pun bukan hanya dari kota-kota besar di Indonesia, melainkan juga dari Singapura dan Malaysia. Waktu itu ia memiliki karib yang juga sama-sama seniman ukir kaligrafi dari Malaysia, sehingga ia sering pulang pergi ke Malaysia antara tahun 1970-an hingga 1980-an. 

Fuad Hasyim, putra tertua H.A. Mudzakir yang meneruskan jejak ayahnya (Dok. Istimewa)

Di saat ramai pesanan kaligrafi saat itu, Fuad Hasyim mengenang, ayahnya sampai memiliki karyawan hingga ratusan orang. Mereka ini kebanyakan ahli tatah yang bekerja di show room alias brak yang berada di Siripan. Banyak mantan pekerja ayahnya yang kini juga sudah mandiri menjadi pengukur kaligrafi. 

Baca juga: Kenduri Rupa: Perayaan Seni yang Menyatukan Ragam Ekspresi di Kota Batu

Sebagai seniman kaligrafi, Mudzakir tidak hanya puas dengan datangnya permintaan. Karena sering ikut pameran, bahkan sampai ke Irak di tahun 1983 atas fasilitasi Haji Masagung yang sangat dikenalnya akrab, ia juga membuat beberapa karya yang menjadi karya besarnya. 

Hingga saat ini karya-karya Mudzakir masih terpampang di Rumah Kaligrafi Jepara, yang disebut rumah negeri dongeng itu. Karya-karya itu sekarang dikelola oleh keluarganya, terutama anak tertuanya, Fuad Hasyim yang juga sudah mengikuti jejak ayahnya sebagai seniman kaligrafi. Salah satu master piece-nya Mudzakir berupa ukiran kaligrafi Surat Yasin lengkap yang dibandrol IDR 7 miliar juga tengah ditawarkan. 

Melipirnews/Zaenal Eko

Komentar

Popular News

Melipir Mewarnai Gerabah di Museum Benteng Vredeburg

Perpaduan Ibadah, Pasar dan Donasi Membentang di Masjid Jogokaryan

Keris: Jiwa Budaya yang Tetap Berdenyut dari Masa ke Masa

Kepemimpinan Algoritma: Siapkan Pemimpin Jawa Timur Hadapi Era Digital

Rudy Chen Kenalkan Kemakmuran Muslim Shadian di Tiongkok

Songkran yang Makin Mendunia

Dalam Jumbo Pun, Cerita Hantu dan Makam Tak Terlewatkan

Kenduri Rupa: Perayaan Seni yang Menyatukan Ragam Ekspresi di Kota Batu

Menghidupkan Kembali Warisan Literasi dan Budaya di Padepokan Sastra Mpu Tantular

Advertisements

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Perpaduan Budaya Penambah Eksotis Masjid Ridho Ilahi, Wilangan, Nganjuk

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Kawasan Menteng Bergaya Eropa Jejak Peninggalan Kebijakan Daendals

Kontes Debat Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)

Antara Pariwisata dan Pelestarian: Dilema Borobudur dalam Perpres 101 Tahun 2024

Bertaruh Cuan di Tengah Kemacetan Jalan Raya Sawangan

Kasih Bunda Tak Terkira; Ber-Solo Touring Demi Tengok Anaknya

Advertisement

Buku Baru: Panduan Praktis Penelitian Sosial-Humaniora

Berpeluh Berselaras; Buddhis-Muslim Meniti Harmoni

Verity or Illusion?: Interfaith Dialogue Between Christian and Muslim in the Philippines


Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.