Survai: Hak Publik Dapatkan Berita Akurat Terancam Jika Intimidasi Jurnalis Terus Terjadi

Keselamatan jurnalis bukan hanya isu personal, tetapi berdampak langsung pada kualitas demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia

Di balik setiap berita yang kita baca, ada jurnalis yang bekerja keras untuk menyampaikan kebenaran. Namun, di Indonesia, realitas yang dihadapi para jurnalis masih jauh dari kata ideal. Ancaman fisik, intimidasi hukum, serangan digital, hingga tekanan ekonomi terus membayangi mereka yang berani bersuara. Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 yang dirilis oleh Yayasan Tifa bersama Populix mengungkap gambaran suram tentang kondisi keselamatan jurnalis di Indonesia, terutama dalam masa transisi pemerintahan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto.



Ancaman yang Tak Pernah Usai

Laporan ini mencatat bahwa 18% dari 760 jurnalis yang disurvei mengalami kekerasan selama masa transisi. Bentuk kekerasan yang paling banyak dialami adalah pelarangan liputan (44%) dan larangan pemberitaan (26%). Pelarangan liputan tidak hanya membatasi hak jurnalis untuk mengakses informasi, tetapi juga menghambat hak publik untuk mendapatkan berita yang akurat dan transparan. Sementara itu, larangan pemberitaan sering kali datang dalam bentuk sensor, ancaman hukum, atau intervensi dari pihak berwenang dan kelompok berkepentingan.

Baca juga: Disiplin Di Angkasa Diselingi Pantun Ala Hanafi Herlim

Aktor utama di balik kekerasan ini adalah buzzer atau tim sukses pasangan calon presiden (38%), diikuti oleh individu atau kelompok dengan motif pribadi (32%). Buzzer, yang bertugas menyebarkan pesan tertentu di media sosial, sering kali menjadi alat untuk menyerang lawan politik atau membentuk opini publik. Mereka tidak hanya mengancam kebebasan pers, tetapi juga membahayakan demokrasi dengan memanipulasi informasi.

Kecemasan di Era Baru

Mayoritas jurnalis (79%) merasa terancam atau tertekan selama masa transisi ini. Kekhawatiran ini tidak hanya terkait dengan kekerasan fisik, tetapi juga ancaman digital dan kriminalisasi. Serangan digital terhadap jurnalis meningkat, dengan 12 jurnalis melaporkan kasus peretasan akun, pencurian identitas digital, dan intimidasi online. Selain itu, 56% jurnalis mengaku melakukan penyensoran mandiri (self-censorship) karena tekanan eksternal atau kekhawatiran akan keselamatan diri.

Kecemasan ini tidak hanya terbatas pada masa transisi, tetapi juga berpotensi berlanjut dalam lima tahun ke depan. Sebanyak 66% jurnalis mengaku akan lebih berhati-hati dalam memproduksi berita karena adanya ancaman kriminalisasi, sensor, dan tekanan dari berbagai pihak. Bentuk kekerasan yang diperkirakan meningkat adalah pelarangan liputan (56%) dan larangan pemberitaan (51%), dengan aktor utama yang dianggap mengancam adalah organisasi masyarakat (23%) dan buzzer (17%).

Efisiensi yang Mengancam

Tantangan lain yang dihadapi jurnalis adalah efisiensi perusahaan media yang berdampak pada kesejahteraan dan independensi mereka. Beberapa perusahaan media melakukan pemotongan gaji sepihak dengan alasan efisiensi, bahkan ada yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Kasus ini terjadi di lembaga penyiaran publik seperti TVRI dan RRI. Di sana lebih dari 1.000 kontributor dan jurnalis non-ASN diberhentikan akibat pemangkasan anggaran.

Pembentukan serikat pekerja menjadi salah satu upaya jurnalis untuk melindungi hak-hak mereka. Namun, alih-alih mendapatkan perlindungan, beberapa jurnalis justru di-PHK karena keterlibatan mereka dalam serikat pekerja. Kasus ini terjadi di CNN Indonesia, di mana manajemen dituding melakukan "union busting" atau pemberangusan serikat pekerja setelah karyawan membentuk Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI).

Regulasi yang Membelenggu

Selain ancaman dari aktor non-negara, jurnalis juga menghadapi tantangan dari regulasi yang dianggap membatasi kebebasan pers. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih menjadi momok bagi jurnalis, dengan pasal-pasal yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi mereka. Meskipun UU ITE telah direvisi, pasal-pasal bermasalah seperti Pasal 27 dan 28 masih dipertahankan dan berpotensi digunakan untuk membungkam kritik dan kebebasan berekspresi.

Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang baru berlaku pada Oktober 2024 juga menimbulkan kekhawatiran. Pasal 65 ayat (2) UU PDP dianggap rawan menjerat jurnalis karena tidak adanya penjelasan rinci tentang frasa "melawan hukum”. Hal ini berpotensi menghambat kerja jurnalistik, terutama dalam investigasi yang bersinggungan dengan data pribadi.

Harapan di Tengah Tantangan

Meskipun tantangan yang dihadapi jurnalis sangat besar, masih ada harapan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman. Laporan ini merekomendasikan beberapa langkah strategis, termasuk revisi regulasi yang membatasi kebebasan pers, peningkatan komitmen perusahaan media terhadap keselamatan jurnalis, dan penguatan peran serikat pekerja. Selain itu, kolaborasi dengan institusi hukum dan HAM juga diperlukan untuk memastikan jurnalis mendapatkan perlindungan yang lebih baik.

Pada akhirnya, keselamatan jurnalis bukan hanya isu personal, tetapi berdampak langsung pada kualitas demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Jika jurnalis terus bekerja dalam ketakutan, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang? Upaya kolektif dari semua pemangku kepentingan diperlukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi para jurnalis, sehingga mereka dapat terus menjalankan tugas mulia mereka yaitu menyampaikan kebenaran.

Melipirnews/Latifah

Komentar

Popular Posts

Komunikasi Empatik: Kunci Pemimpin Membangun Kepercayaan dan Hubungan yang Kuat

Drama Pertentangan Duterte dengan International Criminal Court (ICC)

Antara Pariwisata dan Pelestarian: Dilema Borobudur dalam Perpres 101 Tahun 2024

Kepemimpinan Algoritma: Siapkan Pemimpin Jawa Timur Hadapi Era Digital

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

MTI: Setelah 10 tahun Bridging, Seharusnya Ojol Hanya untuk Pengantaran Barang

Perjuangan Minoritas dalam Membangun Identitas Nasional di Asia Tenggara

Gorengan Khas Jepang dan Impor Minyak Sawit dari Indonesia

Penyebab Banjir, Gubernur Dedi: Akibat Pembangunan, Pusat: Curah Hujan

Advertisements

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Kontes Debat Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)

Perpaduan Budaya Penambah Eksotis Masjid Ridho Ilahi, Wilangan, Nganjuk

Bertaruh Cuan di Tengah Kemacetan Jalan Raya Sawangan

Kasih Bunda Tak Terkira; Ber-Solo Touring Demi Tengok Anaknya

Kawasan Menteng Bergaya Eropa Jejak Peninggalan Kebijakan Daendals

Rangkaian Harmusindo 2024: Dorong Museum Sebagai Destinasi Wisata dan Edukasi

Advertisement

Buku Baru: Panduan Praktis Penelitian Sosial-Humaniora

Berpeluh Berselaras; Buddhis-Muslim Meniti Harmoni

Verity or Illusion?: Interfaith Dialogue Between Christian and Muslim in the Philippines

IKLAN ANDA

IKLAN ANDA

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.