Etnis Tionghoa, yang telah lama menetap di Indonesia, menghadapi dilema antara mempertahankan identitas budaya mereka dan berintegrasi dengan masyarakat mayoritas.
Dalam webinar seri LuceSEA yang diselenggarakan oleh Universitas Hawai Manoa Center for Southeast Asian Studies Desember 2024 silam yang bertajuk "Southeast Asian Nation Building", para ahli dari Indonesia, Myanmar, dan Thailand berbagi pandangan tentang bagaimana negara-negara di Asia Tenggara membangun identitas nasional pasca-kolonial.
Namun, di balik upaya pembangunan bangsa, terdapat kisah-kisah yang menggambarkan perjuangan kelompok minoritas dalam menghadapi marginalisasi dan tantangan politik.
![]() |
Ilustrasi Identitas |
Thailand: Bahasa dan Agama sebagai Alat Pemersatu
Thongchai Winichakul, profesor emeritus dari University of Wisconsin-Madison, membahas bagaimana Thailand menggunakan bahasa dan agama sebagai alat untuk membangun identitas nasional. Proses "Thainization" atau "Thainisasi" yang ia sebut mirip dengan "Russification" di Rusia, adalah upaya pemerintah Thailand untuk memaksa masyarakat menggunakan bahasa Thai tengah dan mengadopsi praktik agama Buddha yang diatur oleh pusat.
Baca juga: Terkesima Kemajemukan di Stesen Bas Nilai
Namun, proses ini tidak selalu berjalan mulus. Thongchai menceritakan bagaimana masyarakat di wilayah selatan Thailand, yang mayoritas Muslim, merasa teralienasi oleh kebijakan ini. Mereka yang tidak ingin menjadi bagian dari identitas nasional Thailand justru dipaksa untuk mengikuti aturan pusat, sementara kelompok minoritas lain yang ingin diakui sebagai warga negara Thailand justru menghadapi banyak rintangan.
"Ada fenomena yang menarik di Thailand," kata Thongchai. "Orang-orang dari kelompok etnis minoritas di wilayah utara ingin menjadi warga negara Thailand, tetapi mereka dihalangi. Sementara itu, orang-orang di selatan yang tidak ingin menjadi bagian dari Thailand justru dipaksa untuk tetap berada dalam sistem ini."
Indonesia: Dilema Identitas Etnis Tionghoa
A. Safril Mubah dari Universitas Airlangga membahas peran etnis Tionghoa dalam pembangunan bangsa pasca-kolonial. Etnis Tionghoa, yang telah lama menetap di Indonesia, menghadapi dilema antara mempertahankan identitas budaya mereka dan berintegrasi dengan masyarakat mayoritas.
Pada era Orde Baru, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan asimilasi yang ketat, termasuk pelarangan penggunaan nama Tionghoa dan praktik budaya Tionghoa di ruang publik. "Mereka dipaksa untuk mengubah nama mereka menjadi nama yang terdengar Indonesia," jelas Safril. "Ini menciptakan dilema bagi etnis Tionghoa, karena mereka harus memilih antara loyalitas kepada Indonesia dan mempertahankan identitas budaya mereka."
Namun, pasca-Reformasi, terjadi perubahan signifikan. Pemerintah mulai mengakui budaya Tionghoa sebagai bagian dari identitas nasional Indonesia. Tahun Baru Imlek diakui sebagai hari libur nasional, dan pertunjukan budaya Tionghoa seperti barongsai mulai muncul di ruang publik. Meskipun demikian, sentimen anti-Tionghoa masih ada, terutama dalam konteks politik. Safril mencontohkan kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mantan gubernur Jakarta yang menghadapi resistensi besar karena latar belakang etnisnya.
Myanmar: Konflik Agama dan Etnis dalam Pembangunan Bangsa
Khen Suan Khai dari Mae Fah Luang University membahas tantangan pembangunan bangsa di Myanmar, yang diwarnai oleh konflik agama dan etnis. Myanmar, dengan keragaman etnis dan agama yang tinggi, menghadapi kesulitan besar dalam menciptakan identitas nasional yang inklusif.
Khai menjelaskan bagaimana pemerintah Myanmar menggunakan agama Buddha sebagai alat pemersatu, tetapi hal ini justru menciptakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seperti etnis Chin dan Kachin yang mayoritas beragama Kristen. "Agama Buddha tidak bisa menyatukan Myanmar," tegas Khai. "Bahkan di antara kelompok Kristen sendiri, ada perpecahan karena perbedaan denominasi."
Selain itu, Khai menyinggung tentang sistem pendidikan yang terpusat dan bias terhadap sejarah etnis minoritas. "Di sekolah, kami hanya diajarkan tentang pahlawan Burma, seperti Anawrahta dan Bayinnaung. Padahal, setiap etnis memiliki pahlawan dan sejarahnya sendiri yang tidak pernah diajarkan," ujarnya.
Perjuangan untuk Diakui
Di balik diskusi akademis tentang pembangunan bangsa, terdapat kisah-kisah menggugah yang menggambarkan perjuangan kelompok minoritas untuk diakui. Di Thailand, masyarakat Muslim di selatan berjuang untuk mempertahankan identitas mereka di tengah tekanan untuk mengikuti norma nasional. Di Indonesia, etnis Tionghoa berusaha menemukan keseimbangan antara mempertahankan budaya mereka dan berintegrasi dengan masyarakat mayoritas. Sementara di Myanmar, kelompok etnis minoritas berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan hak-hak mereka dalam sistem yang didominasi oleh etnis mayoritas.
Namun, proses ini tidak selalu berjalan mulus. Thongchai menceritakan bagaimana masyarakat di wilayah selatan Thailand, yang mayoritas Muslim, merasa teralienasi oleh kebijakan ini. Mereka yang tidak ingin menjadi bagian dari identitas nasional Thailand justru dipaksa untuk mengikuti aturan pusat, sementara kelompok minoritas lain yang ingin diakui sebagai warga negara Thailand justru menghadapi banyak rintangan.
"Ada fenomena yang menarik di Thailand," kata Thongchai. "Orang-orang dari kelompok etnis minoritas di wilayah utara ingin menjadi warga negara Thailand, tetapi mereka dihalangi. Sementara itu, orang-orang di selatan yang tidak ingin menjadi bagian dari Thailand justru dipaksa untuk tetap berada dalam sistem ini."
Indonesia: Dilema Identitas Etnis Tionghoa
A. Safril Mubah dari Universitas Airlangga membahas peran etnis Tionghoa dalam pembangunan bangsa pasca-kolonial. Etnis Tionghoa, yang telah lama menetap di Indonesia, menghadapi dilema antara mempertahankan identitas budaya mereka dan berintegrasi dengan masyarakat mayoritas.
Pada era Orde Baru, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan asimilasi yang ketat, termasuk pelarangan penggunaan nama Tionghoa dan praktik budaya Tionghoa di ruang publik. "Mereka dipaksa untuk mengubah nama mereka menjadi nama yang terdengar Indonesia," jelas Safril. "Ini menciptakan dilema bagi etnis Tionghoa, karena mereka harus memilih antara loyalitas kepada Indonesia dan mempertahankan identitas budaya mereka."
Namun, pasca-Reformasi, terjadi perubahan signifikan. Pemerintah mulai mengakui budaya Tionghoa sebagai bagian dari identitas nasional Indonesia. Tahun Baru Imlek diakui sebagai hari libur nasional, dan pertunjukan budaya Tionghoa seperti barongsai mulai muncul di ruang publik. Meskipun demikian, sentimen anti-Tionghoa masih ada, terutama dalam konteks politik. Safril mencontohkan kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mantan gubernur Jakarta yang menghadapi resistensi besar karena latar belakang etnisnya.
Myanmar: Konflik Agama dan Etnis dalam Pembangunan Bangsa
Khen Suan Khai dari Mae Fah Luang University membahas tantangan pembangunan bangsa di Myanmar, yang diwarnai oleh konflik agama dan etnis. Myanmar, dengan keragaman etnis dan agama yang tinggi, menghadapi kesulitan besar dalam menciptakan identitas nasional yang inklusif.
Khai menjelaskan bagaimana pemerintah Myanmar menggunakan agama Buddha sebagai alat pemersatu, tetapi hal ini justru menciptakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seperti etnis Chin dan Kachin yang mayoritas beragama Kristen. "Agama Buddha tidak bisa menyatukan Myanmar," tegas Khai. "Bahkan di antara kelompok Kristen sendiri, ada perpecahan karena perbedaan denominasi."
Selain itu, Khai menyinggung tentang sistem pendidikan yang terpusat dan bias terhadap sejarah etnis minoritas. "Di sekolah, kami hanya diajarkan tentang pahlawan Burma, seperti Anawrahta dan Bayinnaung. Padahal, setiap etnis memiliki pahlawan dan sejarahnya sendiri yang tidak pernah diajarkan," ujarnya.
Perjuangan untuk Diakui
Di balik diskusi akademis tentang pembangunan bangsa, terdapat kisah-kisah menggugah yang menggambarkan perjuangan kelompok minoritas untuk diakui. Di Thailand, masyarakat Muslim di selatan berjuang untuk mempertahankan identitas mereka di tengah tekanan untuk mengikuti norma nasional. Di Indonesia, etnis Tionghoa berusaha menemukan keseimbangan antara mempertahankan budaya mereka dan berintegrasi dengan masyarakat mayoritas. Sementara di Myanmar, kelompok etnis minoritas berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan hak-hak mereka dalam sistem yang didominasi oleh etnis mayoritas.
Baca juga: Patung Yesus Memberkati; Antara Kebangkitan Agama di Era Modern dan Kebutuhan Wisata Religi
Webinar ini tidak hanya membahas teori dan kebijakan, tetapi juga menyoroti tantangan nyata yang dihadapi oleh masyarakat dalam upaya membangun identitas nasional yang inklusif. Kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa pembangunan bangsa bukan hanya tentang kebijakan dan struktur negara, melainkan juga tentang manusia dan perjuangan mereka untuk diakui dan dihargai dalam keragaman.
Pembangunan bangsa di Asia Tenggara masih menghadapi banyak tantangan, terutama dalam hal inklusivitas dan pengakuan terhadap keragaman. Seperti yang diungkapkan oleh para pembicara, upaya untuk menciptakan identitas nasional yang kuat seringkali mengorbankan kelompok minoritas. Namun, dengan semakin banyaknya kesadaran akan pentingnya keragaman, ada harapan bahwa masa depan pembangunan bangsa di Asia Tenggara akan lebih inklusif dan menghargai setiap suara, terutama mereka yang selama ini terpinggirkan.
Melipirnews/Latifah
Webinar ini tidak hanya membahas teori dan kebijakan, tetapi juga menyoroti tantangan nyata yang dihadapi oleh masyarakat dalam upaya membangun identitas nasional yang inklusif. Kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa pembangunan bangsa bukan hanya tentang kebijakan dan struktur negara, melainkan juga tentang manusia dan perjuangan mereka untuk diakui dan dihargai dalam keragaman.
Pembangunan bangsa di Asia Tenggara masih menghadapi banyak tantangan, terutama dalam hal inklusivitas dan pengakuan terhadap keragaman. Seperti yang diungkapkan oleh para pembicara, upaya untuk menciptakan identitas nasional yang kuat seringkali mengorbankan kelompok minoritas. Namun, dengan semakin banyaknya kesadaran akan pentingnya keragaman, ada harapan bahwa masa depan pembangunan bangsa di Asia Tenggara akan lebih inklusif dan menghargai setiap suara, terutama mereka yang selama ini terpinggirkan.
Melipirnews/Latifah
Komentar
Posting Komentar