David Pranata, seorang trainer dan penulis yang telah berpengalaman lebih dari 14 tahun dalam bidang komunikasi dan presentasi, dihadirkan di sini.
Dalam era informasi yang serba cepat dan transparan seperti sekarang, gaya komunikasi para pemimpin memiliki dampak yang signifikan terhadap kepercayaan dan harapan masyarakat. Sayangnya, banyak pemimpin yang masih terjebak dalam gaya komunikasi satu arah. Mereka lebih fokus pada penyampaian pesan tanpa memperhatikan kebutuhan dan perasaan orang yang diajak bicara. Hal ini seringkali menyebabkan miskomunikasi, ketidakpuasan, dan bahkan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Gaya komunikasi yang tidak empatik ini dapat menciptakan jarak antara pemimpin dan masyarakat, sehingga harapan untuk perubahan dan perbaikan semakin memudar.
![]() |
Ilustrasi komunikasi kantor (sumber: freepik.com) |
Refleksi ini menjadi penting, terutama dalam konteks kepemimpinan di sektor publik, di mana pemimpin diharapkan mampu membangun hubungan yang kuat dengan pegawai dan masyarakat. Tanpa komunikasi yang efektif dan empatik, upaya untuk meningkatkan kinerja organisasi dan pelayanan publik akan sulit tercapai. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang tidak hanya mampu berbicara, tetapi juga mendengarkan, memahami, dan merespons dengan tepat.
Membangun Hubungan Kuat dengan Pegawai
dan Masyarakat
Pada 10 Maret 2025, Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Kalimantan Timur menyelenggarakan workshop
bertajuk "Komunikasi Empatik dalam Kepemimpinan: Membangun Hubungan Kuat
dengan Pegawai dan Masyarakat". Workshop ini menghadirkan David Pranata,
seorang trainer dan penulis yang telah berpengalaman lebih dari 14 tahun dalam
bidang komunikasi dan presentasi. Acara ini diikuti oleh ratusan peserta, baik
secara langsung maupun melalui platform online, yang terdiri dari aparatur sipil
negara (ASN) dan masyarakat umum.
David Pranata membuka workshop dengan
menekankan pentingnya komunikasi empatik dalam kepemimpinan. Menurutnya,
komunikasi empatik bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi juga tentang
memahami perasaan dan kebutuhan lawan bicara. "Komunikasi empatik adalah
ketika kita tidak hanya fokus pada apa yang ingin kita sampaikan, tetapi juga
pada apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh lawan bicara," ujarnya.
Dasar-Dasar Komunikasi Empatik
Dalam sesi pertama, David menjelaskan
dasar-dasar komunikasi empatik. Ia membedakan antara komunikasi verbal dan
nonverbal. Komunikasi verbal melibatkan kata-kata, sedangkan komunikasi
nonverbal mencakup bahasa tubuh, intonasi suara, dan ekspresi wajah. Menurut
David, komunikasi nonverbal seringkali lebih kuat dalam menyampaikan pesan
dibandingkan dengan kata-kata. "Ketika kata-kata dan bahasa tubuh tidak
sinkron, orang cenderung lebih percaya pada bahasa tubuh," jelasnya.
David juga menekankan pentingnya
mendengarkan dalam komunikasi. Ia menyebutkan bahwa mendengarkan adalah
keterampilan yang sering dilupakan, padahal ini adalah fondasi dari komunikasi
yang efektif. "Banyak masalah dalam organisasi dan rumah tangga terjadi
bukan karena kita tidak bisa menyampaikan pesan, tetapi karena kita tidak bisa
mendengarkan," ujarnya.
Empati vs. Simpati
Selanjutnya, David membedakan antara empati
dan simpati. Empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan orang lain
seolah-olah kita berada di posisi mereka, sedangkan simpati lebih tentang
merasa kasihan terhadap orang lain. "Empati adalah ketika kita mengatakan,
'Aku paham bagaimana rasanya menjadi kamu,' sedangkan simpati adalah ketika
kita mengatakan, 'Aduh, aku kasihan melihat keadaanmu'," jelas David.
Ia juga memberikan contoh praktis tentang
bagaimana komunikasi empatik dapat meningkatkan hubungan kerja dan kepercayaan
publik. "Dalam lingkup organisasi, komunikasi empatik dapat meningkatkan
kepercayaan publik, memperbaiki hubungan kerja, dan meningkatkan efektivitas
kepemimpinan," ujarnya.
Praktik Komunikasi Empatik
Dalam sesi kedua, David membahas
teknik-teknik praktis untuk berkomunikasi secara empatik. Salah satu teknik
yang ia ajarkan adalah mirroring, yaitu mengulang kata kunci yang
diucapkan oleh lawan bicara untuk menunjukkan bahwa kita mendengarkan dan
memahami. Teknik lain yang ia sebutkan adalah paraphrasing, yaitu
mengulang pesan lawan bicara dengan kata-kata sendiri untuk memastikan
pemahaman yang tepat.
David juga menekankan pentingnya labeling
emotions, yaitu menyebutkan emosi yang dirasakan oleh lawan bicara.
"Ketika kita bisa menyebutkan emosi yang dirasakan oleh lawan bicara,
mereka akan merasa dipahami dan emosi negatif mereka akan berkurang,"
jelasnya.
Tantangan dalam Komunikasi Empatik
Meskipun komunikasi empatik memiliki banyak
manfaat, David mengakui bahwa ada tantangan dalam menerapkannya, terutama di
era digital yang penuh dengan distraksi. "Handphone dan gadget adalah
distraksi terbesar saat ini. Kita seringkali sulit fokus karena terlalu banyak
gangguan," ujarnya.
Sebagai penutup, David menekankan bahwa
komunikasi empatik bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari hanya dengan teori.
"Anda tidak bisa belajar berenang hanya dengan membaca buku atau menonton
DVD. Anda harus melompat ke kolam renang dan berlatih," ujarnya. Ia
mendorong peserta untuk mempraktikkan teknik-teknik yang telah dipelajari dalam
kehidupan sehari-hari, baik di tempat kerja maupun di rumah.
Workshop ini tidak hanya memberikan wawasan
baru tentang pentingnya komunikasi empatik, tetapi juga menginspirasi peserta
untuk menjadi pemimpin yang lebih baik dengan membangun hubungan yang kuat
melalui komunikasi yang efektif dan empatik. Dengan demikian, diharapkan
kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap pemimpin dapat kembali pulih dan
tumbuh.
Melipirnews/Latifah
Komentar
Posting Komentar