Mukhtasar Syamsuddin Menjawab Disrupsi Teknologi Dengan Konsep Neokonfusianisme

Di tengah kemajuan teknologi yang tak terbendung, banyak individu kekinian merasakan perubahan besar dalam cara berinteraksi, bekerja, dan bahkan merayakan tradisi. 

Bayangkan saja, pada saat lebaran, tradisi mengunjungi keluarga besar yang dulu selalu ramai dengan tawa dan obrolan langsung, kini banyak yang tergantikan dengan pesan singkat di WhatsApp atau video call.

Ilustrasi dibuat oleh Artificial Intelligence 


Meskipun tetap bisa merasa dekat, ada kekosongan yang tak bisa tergantikan dengan hanya sebuah layar. Fenomena ini mencerminkan bagaimana disrupsi teknologi membawa dampak pada struktur sosial kekinian—termasuk nilai-nilai yang selama ini dijunjung tinggi dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Dalam konteks inilah, filsafat Konfusianisme yang berkembang di Korea, yang menekankan pentingnya nilai-nilai seperti kesetiaan, kebijaksanaan, dan empati, menawarkan arah yang relevan untuk menjalani kehidupan.
 

Baca juga: Salim Said dan Potret Kiprah Para Elit Politik Indonesia


Dengan latar belakang ini, diskusi daring pada 29 Januari 2025, yang membahas "Filsafat Konfusianisme dan Refleksinya di Era Modern" dengan pemateri M. Mukhtasar Syamsuddin, seorang guru besar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, membuka wawasan tentang bagaimana nilai-nilai tradisional dapat bertahan dan tetap memberi makna di tengah perubahan yang cepat. 


Filsafat Timur, yang sering dianggap lebih mengutamakan nilai kolektivisme, sosial, dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat, mendapat perhatian dalam presentasi Mukhtasar. Ia menekankan bahwa Konfusianisme, sebagai cabang dari filsafat Timur, menawarkan wawasan penting dalam menjalani kehidupan di tengah kemajuan zaman. Dalam ajarannya, nilai-nilai moral seperti kesopanan, kebijaksanaan, kesetiaan, dan empati dipandang sebagai pedoman yang membantu individu menjaga keseimbangan dalam kehidupan pribadi maupun sosial.


Namun, tantangan zaman modern, yang semakin didominasi oleh teknologi dan globalisasi, memengaruhi cara individu berinteraksi dan merayakan tradisi. Mukhtasar memberi contoh bagaimana perayaan Idul Fitri di Indonesia kini lebih banyak dilakukan melalui pesan WhatsApp daripada pertemuan langsung, mencerminkan perubahan struktur sosial yang dipengaruhi teknologi. Mukhtasar pun mengingatkan untuk tidak sekadar mengkritisi perubahan ini, tetapi juga perlu memahami bagaimana individu dapat beradaptasi dengan cara yang bijak.


Di tengah dunia yang serba cepat, ajaran Konfusianisme Korea, khususnya Neokonfusianisme, tetap relevan. Nilai-nilai seperti kesetiaan kepada keluarga, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan pentingnya hubungan antara individu dengan masyarakat dan negara, tetap dapat memberikan panduan hidup yang bijaksana. 


Menurut Mukhtasar, meskipun teknologi dan globalisasi mengubah banyak aspek kehidupan, ketahanan emosional dan keseimbangan antara perasaan pribadi dan kewajiban sosial adalah hal yang sangat penting untuk dijaga.


Perdebatan antara dua tokoh besar dalam Konfusianisme Korea, Yi I dan Jeong Do-jeon, juga turut disorotnya. Kedua tokoh ini memperdebatkan pentingnya empat prinsip dasar moral, seperti kasih sayang, kebijaksanaan, dan kejujuran, dibandingkan dengan emosi manusia yang lebih konkrit dan sering dipengaruhi oleh faktor eksternal. Mukhtasar mengungkapkan bahwa meskipun keduanya memiliki pandangan yang berbeda, keduanya tetap berkontribusi dalam memberikan panduan dalam kehidupan sehari-hari.


Konfusianisme juga mengajarkan pentingnya hubungan sosial yang kuat. Meskipun teknologi sering menyebabkan perasaan kesepian dan keterasingan, nilai-nilai seperti gotong royong dan empati dalam Konfusianisme dapat membantu menciptakan komunitas yang mendukung dan memberikan rasa aman bagi anggotanya. 


Selain itu, Mukhtasar menyebutkan bahwa Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, memiliki kesamaan dengan ajaran Konfusianisme dalam beberapa hal, terutama dalam menekankan keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara tradisi dan kemajuan.


Diskusi daring ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana nilai-nilai tradisional, baik dari Konfusianisme maupun Pancasila, dapat diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari di tengah perkembangan sosial dan teknologi yang pesat. Mukhtasar mengajak peserta untuk merenung dan mengaplikasikan ajaran-ajaran ini dalam menghadapi tantangan dunia digital yang serba cepat. 


"Dengan menjaga nilai-nilai kemanusiaan, keharmonisan sosial, dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat, kita dapat menemukan keseimbangan antara kehidupan modern yang penuh tekanan dan nilai-nilai tradisional yang tetap relevan", ujarnya.


Meskipun nilai-nilai filsafat Konfusianisme yang menekankan pentingnya kesetiaan, keharmonisan, dan tanggung jawab sosial telah lama menjadi landasan kehidupan masyarakat Korea, kenyataannya banyak individu di sana merasa terperangkap dalam tekanan yang luar biasa. Di balik konsep kebersamaan yang erat, ada beban ekspektasi yang tinggi terhadap individu untuk selalu memenuhi peran sosial dan keluarga dengan sempurna, sering kali mengorbankan kebahagiaan pribadi. 


Dalam dunia yang serba cepat dan kompetitif, tekanan untuk selalu tampil sukses dan memenuhi standar yang ditetapkan oleh masyarakat dapat menyebabkan perasaan terasing, depresi, dan akhirnya keputusasaan. Ironisnya, meskipun nilai-nilai sosial yang kuat menjaga solidaritas, banyak individu yang merasa semakin kesepian dalam upaya mereka untuk memenuhi ekspektasi tersebut, sehingga menambah kerentanannya terhadap masalah mental seperti depresi. 


Baca juga: Furnivall Dibincangkan di STABN Sriwijaya Dikaitkan Moderasi Beragama


Dalam hal ini, filsafat Konfusianisme, yang dulunya mengajarkan keharmonisan dan kedamaian sosial, kini menghadapi tantangan besar dalam adaptasinya terhadap realitas dunia modern yang penuh tekanan.

MN (Latifah, Malang, Jawa Timur)
Baca Juga

Komentar

Popular Posts

Nokia Tinggal Sejarah?

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Mobil Listrik China Ramaikan Perayaan Imlek 2025 di Dubai

Kawasan Menteng Bergaya Eropa Jejak Peninggalan Kebijakan Daendals

Bagaimana Riset Interdisipliner Bisa Menjawab Tantangan Global Nan Kompleks?

Prediksi Manfaat Program Makan Siang Gratis di Sekolah

Panda di Luar China Diberi Nama dan Fakta Lainnya

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Disiplin Di Angkasa Diselingi Pantun Ala Hanafi Herlim

Advertisements

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Kontes Debat Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)

Bertaruh Cuan di Tengah Kemacetan Jalan Raya Sawangan

Perpaduan Budaya Penambah Eksotis Masjid Ridho Ilahi, Wilangan, Nganjuk

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Kasih Bunda Tak Terkira; Ber-Solo Touring Demi Tengok Anaknya

Kawasan Menteng Bergaya Eropa Jejak Peninggalan Kebijakan Daendals

Rangkaian Harmusindo 2024: Dorong Museum Sebagai Destinasi Wisata dan Edukasi

Advertisement

Buku Baru: Panduan Praktis Penelitian Sosial-Humaniora

Berpeluh Berselaras; Buddhis-Muslim Meniti Harmoni

Verity or Illusion?: Interfaith Dialogue Between Christian and Muslim in the Philippines

IKLAN ANDA

IKLAN ANDA

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.