Mahfud MD menekankan bahwa kedaulatan Indonesia diraih melalui perjuangan panjang, berbeda dengan banyak negara lain yang merdeka melalui hadiah atau perjanjian.
![]() |
Pidato Mahfud MD |
Yogyakarta kembali menjadi saksi perhelatan penting dalam sejarah kebangsaan dengan digelarnya Simposium Nasional Penegakan Kedaulatan Negara pada 19-21 Februari 2025. Acara yang berlangsung secara luring dan daring ini mengangkat tema "Reorientasi Kedaulatan Politik, Hukum, Ekonomi, dan Budaya", dengan tujuan menggali pemahaman mendalam serta solusi nyata untuk menjaga kedaulatan Indonesia di era globalisasi.
Kedaulatan dalam Sorotan Sejarah
Dalam pidato pembukaannya, Mahfud MD menekankan bahwa kedaulatan Indonesia diraih melalui perjuangan panjang, berbeda dengan banyak negara lain yang merdeka melalui hadiah atau perjanjian. Ia mengulas bagaimana Indonesia sempat menghadapi ancaman dari Jepang dan Belanda yang berusaha mempertahankan kendali atas wilayah Nusantara. Melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Indonesia akhirnya mendapat pengakuan internasional yang memperkuat posisinya sebagai negara berdaulat.
Namun, Mahfud juga mengingatkan bahwa ancaman terhadap kedaulatan kini justru lebih banyak datang dari dalam negeri, seperti praktik korupsi, regulasi yang lebih menguntungkan pihak asing, serta lemahnya kontrol terhadap sektor strategis nasional. Ia menyoroti pentingnya reorientasi kedaulatan berdasarkan konsep Trisakti Bung Karno: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Tanpa langkah konkret, Indonesia bisa menghadapi disorientasi hingga disintegrasi yang mengancam masa depannya.
Belajar dari Sejarah: Serangan Umum 1 Maret 1949
Simposium ini juga menyoroti peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menjadi momentum penting dalam sejarah kedaulatan Indonesia. Ketika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948, dunia internasional sempat meragukan eksistensi Republik Indonesia. Untuk membuktikan bahwa Indonesia masih memiliki kedaulatan, dilancarkanlah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil merebut Yogyakarta selama enam jam. Keberhasilan ini mengubah pandangan dunia dan memaksa Belanda kembali ke meja perundingan, yang akhirnya berujung pada pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar.
Dian Lakshmi Pratiwi, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, menjelaskan bahwa peristiwa ini menjadi latar belakang penyelenggaraan simposium. "Kedaulatan negara adalah prinsip fundamental dalam hukum internasional. Namun, di era globalisasi, kita menghadapi tantangan baru yang memerlukan pemahaman serta strategi yang tepat untuk menjaga kemandirian bangsa," ungkapnya.
Menyusun Langkah Nyata
Simposium ini tidak hanya sekadar ajang diskusi, tetapi juga menjadi forum pencarian solusi konkret dalam menjaga kedaulatan di berbagai bidang. Beberapa isu utama yang dibahas antara lain permasalahan kedaulatan dalam politik, hukum, ekonomi, dan budaya yang dihadapi Indonesia saat ini. Isu lainnya, strategi mencapai kemandirian dan memperkuat kerja sama lintas sektor. Tak kalah pentingnya, peran pemerintah daerah, khususnya DIY, dalam membantu mewujudkan kedaulatan negara.
Para peserta, termasuk anggota Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), merasa terinspirasi oleh paparan yang disampaikan. Agus Toni Widodo, salah satu peserta, menilai bahwa simposium ini memperkaya perspektif mengenai bagaimana sejarah dapat menjadi dasar dalam menyusun kebijakan kedaulatan di masa kini dan mendatang.
Simposium ini menjadi bukti bahwa menjaga kedaulatan tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Dengan refleksi dari sejarah dan langkah-langkah nyata yang dirumuskan dalam forum ini, diharapkan Indonesia dapat terus menjaga dan memperkuat kedaulatannya dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Melipirnews (Latifah, Malang, Jawa Timur)
Komentar
Posting Komentar