Ugahari dalam Seni Mengelola Alam ala Dayak Tenggalan

Kelestarian alam terjadi karena didasari pada keberpihakan sadar manusia akan kompleksitas yang ada di alam. Meski berpusat pada kebutuhan mendasar manusia, alam dijaga dengan keugaharian (kesederhanaan)nya

Keugaharian inilah yang dilakukan salah satu masyarakat adat di Kalimatan Utara, yakni warga Dayak Tenggalan. Mereka menetap di sekitar Sungai Semendrut, sekitar 50 kilometer dari Kantor Bupati Malinau. Hidup sebagai masyarakat yang memiliki tradisi dan bersanding dengan alam, mereka memperjuangkan hak mereka sebagai masyarakat adat.

Dayak Tenggalan (Courtesy: Malinau Channel)

Hasil yang baik dituai melalui perjuangan warga Dayak Tenggalan, bersama Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, mulai dari menarasikan sejarah sampai menetapkan batas wilayah. Melansir Kompas (3 Desember 2024), melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Malinau Nomor 660.2/K.289/2024 yang ditandatangani Bupati Malinau Wempi M pada 29 Agustus 2024, warga Dayak Tenggalan yang berlokasi di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, mendapatkan pengakuan dari negara sebagai masyarakat hukum adat.

Terkesima Kemajemukan di Stesen Bas Nilai

Pengakuan mereka sebagai masyarakat adat, tak menjadi eksis secara hukum dan menambah daftar masyarakat adat di Indonesia. Tradisi mereka terhadap tata kelola alam turut menjadi pengingat di tengah maraknya deforestasi demi pembangunan infrastruktur. Sebelum menetap, nenek moyang mereka hidup secara nomanden di sepanjang Sungai Semendrut. Saat menetap, meski dekat dengan kota, mereka beradaptasi dengan menciptakan tata kelola terhadap hutan, sungai, dan lahan.

Dari tata kelola hutan, warga dapat memanfaat kayu sejauh untuk kebutuhan sehari-hari. Meski begitu, jumlah kayu yang diambil dibatasi sesuai dengan musyawarah warga. Pengambilan kayu harus didahului dengan izin ke lembaga adat setempat. Warga dilarang mengambil kayu untuk diperjualbelikan. Usaha ini dilakukan agar hutan tetap lestari dan manfaatnya bisa diterima warga untuk keperluan sehari-hari.

Manfaat yang diperoleh dari hutan didasarkan pada pembagian menurut jenis pohon atau tanaman yang ditanam. Bagian rimba atau giman merupakan hutan yang dimanfaatkan untuk penanaman pohon rotan dan gaharu. Keuntungan ekonomis dapat dipetik dari hasil penanaman pohon ini, namun hanya pohon dengan usia dewasa yang dapat diambil. Selain rimba, ada pula ladang atau umo, kawasan yang dimanfaatkan untuk keperluan pangan, seperti umbi-umbian dan padi gunung.

Selain giman dan umo, warga Dayak Tenggalan juga menanam pohon sawit, karet, serta pohon buahan-buahan, seperti rambutan, nangka, dan lainnya. Pohon-pohon tersebut ditanam di kawasan kebun atau kabun. Setiap lahan memiliki batas, tidak mencaplok kawasan lainnya. Tidak berhenti sampai masyarakat hukum adat, mereka memperjuangkan pula kawasan hutan adat agar mampu dikelola secara mandiri menjadi kawasan wisata.

Para Penjaga Singkong dari Sekadar Makanan Biasa

Tata kelola sungai pun didasari pada kebutuhan esensial. Warga dilarang menangkap ikan di sepanjang Sungai Semedrut serta area pengembangbiakan ikan dengan cara yang merusak, seperti setrum, racun, dan peledak ikan. Cara yang lebih ramah lingkungan lebih diprioritaskan agar tetap menjaga populasi ikan. Praktik ini telah meliputi kebutuhan manusia sekaligus melindungi keutuhan alam ciptaan. Warga pun bisa mengonsumsi ikan yang sehat secara berkelanjutan.

Pusat kehidupan

Melansir rri.co.id, Kepala Lembaga Adat Dayak Tenggalan Yagung Basili menegaskan, hutan merupakan bagian integral dari kehidupan mereka. Cara-cara yang dikerahkan warga Dayak Tenggalan menjaga kelangsungan ekosistem dengan kearifan lokal yanng dijaga. Hutan dan lahan, tidak hanya menjadi sarana pemenuhan kebutuhan pokok, melainkan juga sarana mereka dalam beritual dan melangsungkan tradisi.

Di tengah kegetiran menjadi bulan-bulanan eksploitasi lahan oleh perusahaan besar, cara ugahari mereka yang dinilai menjadi benteng terakhir dalam menjaga keberlangsungan hidup ekosistem alam. Berprinsip pada kebutuhan esensial adalah cara terbaik untuk mengelola sumber daya yang ada dengan baik sekaligus efektif. Pemakaian secara eksesif tidak diperkenankan karena sadar perlunya keberlanjutan.

Pemanfaatan yang ugahari melahirkan “jeda” untuk alam memproses segalanya (pohon, tanaman, dan hewan) secara mandiri. Untuk itu, hak pengelolaan hutan adat masih diperjuangkan, bukan semata-mata pemberdayaan ekonomi, namun cara meneruskan relasi pemanfaatan yang ekologis dengan alam. SK masyarakat adat jadi basis untuk mengajukan SK hutan adat ke Kementerian Kehutanan.

Penulis: Cornelius Juan Prawira, mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama