Tantangan Etis untuk Media dalam Pemberitaan Femisida

Pada 10 Desember 2024, Komnas Perempuan meluncurkan Laporan Pemantauan Femisida 2024, sebuah upaya strategis untuk mengungkap dan menangani kasus pembunuhan terhadap perempuan berbasis gender. Acara yang dilaksanakan secara daring ini bertujuan mendiseminasikan hasil pantauan media, tantangan, dan rekomendasi terkait penanganan femisida kepada publik, akademisi, media, dan lembaga terkait.

Cover buku

Femisida, yang didefinisikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena gendernya, merupakan bentuk kekerasan berbasis gender paling ekstrem. Menurut laporan Komnas Perempuan sebelumnya, kasus-kasus ini sering kali diwarnai penganiayaan berlapis dan muncul dalam berbagai konteks sosial, termasuk dalam relasi pasangan intim.

Nasib Pengungsi Myanmar yang Terdampar di Kawasan Aceh: Terancam Masa Depannya

Namun, dalam realitas pemberitaan media, kasus femisida sering kali dirangkaikan dengan narasi yang justru menyudutkan korban. Misalnya, beberapa pemberitaan menyoroti latar belakang korban secara berlebihan, seperti status relasi atau pilihan hidupnya, seolah-olah tindakan tersebut berkontribusi pada terjadinya kejahatan. Perspektif ini tidak hanya keliru, tetapi juga memperparah stigma terhadap korban dan keluarganya.

Mengapa Media Perlu Mengubah Perspektif?Komnas Perempuan menyoroti pentingnya media untuk mengadopsi prinsip etis yang berpihak pada korban dan berperspektif gender. Dalam memilih kata, menyusun narasi, hingga memutuskan fokus berita, media diharapkan tidak mengeksploitasi kasus demi menarik jumlah pembaca atau menjadi viral. Sebaliknya, media harus mampu mengedukasi publik tentang akar masalah kekerasan berbasis gender.

Siti Aminah Tardi, salah satu pembicara dalam peluncuran laporan ini, menegaskan bahwa penggambaran korban dalam berita sering kali menimbulkan trauma tambahan bagi keluarga korban. “Ketika media lebih memedulikan sensasi dibandingkan konteks yang sebenarnya, korban menjadi dua kali menderita: sebagai korban kejahatan dan korban pemberitaan,” ujarnya.

Apa yang Bisa Dilakukan?

1. Menghindari victim blaming

Media perlu berhenti menyoroti latar belakang korban sebagai penyebab kejahatan. Misalnya, menggambarkan korban sebagai pihak yang “memancing” kekerasan adalah narasi yang tidak bertanggung jawab.

2. Menjaga privasi korban dan keluarga

Detail yang tidak relevan, seperti alamat, foto pribadi, atau informasi sensitif lainnya, harus dihindari demi melindungi privasi korban.

3. Berfokus pada pelaku dan sistem

Alih-alih menyalahkan korban, media perlu mengarahkan pemberitaan pada sistem yang gagal melindungi perempuan dan memberikan tekanan kepada pihak berwenang untuk bertindak tegas terhadap pelaku.

4. Menggunakan data yang akurat

Dalam kasus femisida, media juga berperan penting dalam menyampaikan data yang terpilah berdasarkan gender. Hal ini akan membantu masyarakat memahami skala dan sifat kejahatan tersebut.

Rencana Investasi Bisa Ambyar Jumpai Tanah Bersertifikat Ganda

Bagaimana Peran Publik?

Selain media, publik juga memiliki tanggung jawab untuk tidak menyebarkan atau mempercayai berita yang tidak sensitif terhadap korban. Komnas Perempuan mengajak semua pihak untuk memanfaatkan laporan pemantauan ini sebagai alat advokasi dan edukasi.

Melalui acara peluncuran ini, Komnas Perempuan berharap dapat memicu diskusi yang lebih mendalam tentang peran media dalam penanganan femisida. Sebab, setiap berita yang dimuat bukan hanya sekadar informasi, melainkan juga alat pembentuk opini yang dapat memperkuat atau justru melemahkan upaya keadilan bagi korban.

Femisida bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga cerminan ketimpangan gender yang masih mengakar dalam masyarakat. Media, sebagai penyampai informasi, memiliki tanggung jawab besar untuk membawa perspektif yang adil dan sensitif dalam pemberitaan. Dengan berpegang pada prinsip etis dan berpihak pada korban,g media dapat menjadi bagian dari solusi, bukan masalah.

Penulis: Latifah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama