Kasih Bunda Tak Terkira; Ber-Solo Touring Demi Tengok Anaknya

Hidup tak ubahnya perjalanan. Tak terbilang kisah-kisah kehidupan mengalir mengikuti arus alam semesta. Pada perjalanan sendiri, juga tak terbilang luasnya kisah kehidupan. Banyak sosok manusia teruraikan dalam kisah-kisah perjalanan. Apalagi kisah untuk menggenapkan kasih.


Tersebutlah kisah seorang perempuan. Sebagai pekerja di sebuah instansi yang bonafid, ia berpenghasilan terbilang lebih dari cukup. Walaupun gelarnya tidak terlalu tinggi. 


Masa lalunya berjalan seolah tanpa riak berarti. Kasih sayang kedua orangtuanya yang dirasa cukup, membuatnya nyaman menjalani masa kecil hingga remajanya. Ayahnya pekerja bangunan, sementara ibunya jualan keliling. Walaupun begitu, kedua orangtuanya sangat memperhatikan kebutuhannya walaupun tidak dengan cara yang mewah. Capaian tertingginya semasa remaja yaitu di saat menempuh pendidikan calon perawat di sebuah rumah sakit di jalan Mintohardjo, Jakarta.

Berangkat dari situlah karirnya mulai terbangun. Sebagai perawat. Ia jalani masa-masa awal kerjanya dengan normal.

Sampailah di gerbang rumah tangganya. Tunas-tunas bangsa terlahir dari rahimnya. Ia mulai menyadari ada yang kurang dalam dirinya dulu. Anak-anaknya tidak dikehendakinya menyandang kekurangan yang dianggapnya itu. Ya, anak-anaknya harus mengenyam pendidikan pesantren.

Berbekal kemandirian finansialnya, ia kekeuh mengirimkan anak-anaknya ke pesantren impiannya; Pesantren Gontor. Suaminya yang pengusaha properti kecil-kecilan kurang setuju anaknya mondok terlalu jauh. Cekcok rumah tangga pun bukan sekali dua kali terjadi. Namun, baginya layar sudah terlanjur berkembang. Kapal harus dilayarkan. Jadilah ia mengantarkan anak sulungnya ke Mantingan, Jawa Timur.

"Saya ingin anak saya lebih paham agama daripada saya dan bapaknya. Lebih-lebih saya ingin membuktikan bahwa anak saya bisa masuk Gontor dan selesai. Saya tertantang oleh perkataan tetangga yang melarang anak-anak di sekitar saya untuk mondok di Gontor dengan alasan berat tantangannya. Padahal anaknya dia yang tidak selesai di Gontor", kilahnya.

Seperti termakan sumpah dan tekadnya, ia tidak menggubris dalih suaminya untuk mengirimkan anaknya di pesantren sekitar tempat tinggalnya. Karena itu ia merasa suaminya kurang mendukung ketika awal anaknya di Gontor. Namun apa boleh buat, akhirnya penghasilan bulanannya ia kerahkan untuk menutupi kebutuhan anaknya di Gontor, hingga kini memasuki tahun keenamnya.

Tersebutlah di saat situasi tidak memungkinkan, sementara anaknya tidak diperbolehkan pulang pada saat liburan lebaran. Anaknya beserta ratusan temannya diharuskan menetap di pondok. Sebagai gantinya, orang tua atau wali yang diminta datang menengok anak-anaknya. Peraturan pondok demikian.

Di saat seperti itu, ia merasa kurang mendapatkan dukungan suaminya untuk berangkat menengok anaknya. Situasi juga lebih rumit karena tarif kendaraan umum menjelang lebaran naik gila-gilaan. Akhirnya ia terngiang dengan kisah-kisah para biker, penyuka berkendara motor roda dua, yang pernah sepintas didengarnya. Ia pun memberanikan diri bertanya kepada seorang pria tetangganya yang memang hobi keliling naik motor. Ke mana rute kalau naik motor ke Mantingan? Tetangganya ini pun dengan ringannya menjawab pertanyaannya tanpa sekalipun curiga peristiwa yang bakal terjadi.

Suatu subuh jelang lebaran. Akhirnya dengan tekad bulat dan perbekalan seadanya, ia geber motor matic Scoopy-nya menyusuri jalan. Seorang diri. Ia susuri jalanan mulai dari rumahnya di kawasan Pinang, Tangerang. Ia terus geber motornya tanpa henti. Hingga sekitar pukul 11 siang, sampailah roda-roda kendaraannya mengaspal di kawasan Cirebon. Ia berhenti. Sebagaimana lumrahnya orang masa kini, ia pun unggah posisinya itu di medsos-nya.

Sontak, WA dan telepon pun bergantian diterimanya. Semuanya bernada sama, minta dirinya pulang kembali ke Tangerang. Termasuk dari pria yang ditanyanya mengenai arah ke Mantingan sebelumnya. Ia hanya tersenyum kecut, "Enak saja sudah sampai Cirebon kok disuruh balik". Dirinya hanya bisa membatin saja.

Setelah istirahat cukup, ia lanjutkan gas motornya melaju ke arah timur. Benar-benar ke arah Mantingan. Rasa kangen dan ingin segera bertemu anaknya yang berkecamuk dengan perasaan kurangnya dukungan pasangannya, membuat kantuk dan lelahnya hilang.

Sampailah akhirnya di tengah malam, seingatnya sudah lepas Semarang dan mulai masuk Purwodadi, motornya mulai kehabisan bahan bakar. Pun, pemudik motor lainnya yang sebelumnya mengelilinginya satu demi satu mulai menghilang. Tinggallah dirinya sendirian dan tak bisa ditampik, kantuk dan lelah pun mulai menyerang hebat.

Di sebuah SPBU, selepas mengisi BBM motornya, ia berniat tidur. Namun rupanya tidak kesampaian karena disarankan oleh petugas SPBU untuk tidak istirahat di situ dengan alasan keamanan. Disarankan lebih aman istirahat di posko mudik lebaran yang tidak jauh dari SPBU tersebut. Apalagi akan melewati kawasan hutan.

Akhirnya ia pun membawa motornya ke posko mudik yang dimaksud. Di luar dugaannya, ia disambut hangat oleh petugas di posko mudik yang dirasakannya memang benar benar melayani pengendara motor seperti dirinya.

Hingga subuh datang, ia kembali terbangun dan bersiap menggeber lagi motornya. Betul juga. Di kanan dan kiri jalan ia jumpai pepohonan lebat layaknya hutan. Dalam hatinya bersyukur sempat menuruti nasihat petugas SPBU malam sebelumnya.

Sragen pun berlalu. Hingga tak lama kemudian sampailah di Mantingan, di Pondok Gontor Putri. Segenap rasa kangennya tercurahkan. Ia jumpai anak pertamanya dengan suka cita. Kepuasannya sebagai ibu terlampiaskan. 

Tibalah giliran kehebohan bergaung dari kisah kasih seorang bunda demi kebaikan anaknya. Beberapa hari kehebohan itu melintas di antara wali-wali santri yang sama-sama menengok anak-anaknya. Apalagi para wali santri itu beristirahat dan menginap di penginapan yang sama, yang dikhususkan buat mereka. Ia pun hanya bisa senyum-senyum saja.
 
Setelah beberapa hari menginap di Pondok Pesantren Gontor Putri di Mantingan, Ngawi, Jawa Timur dan dirasa cukup, lalu ia memutuskan kembali ke Tangerang. Iringan haru dan linangan air mata anaknya mengiringi kepulangannya bersama motor matic kesayangannya. Jarak 600 km lebih akan ditempuhnya dalam perjalanan balik itu. Total jarak yang ditempuhnya berarti 1.200 km lebih demi menengok putri terkasihnya. Sebuah rekor tak biasa bagi kebanyakan orang.



Setelah sekian masa berlalu. Ketika ditanya apakah masih akan mengulangi touring lagi Tangerang-Mantingan? Sambil tersenyum, ia menukas, "Kayaknya cukup sekali saja pengalaman itu", jawabnya renyah. 

Kereta malam pun terus melaju, membawa cerita para insan dengan kehidupannya. 

MN
Baca Juga

Komentar

Buku Baru: Panduan Praktis Penelitian Sosial-Humaniora

Berpeluh Berselaras; Buddhis-Muslim Meniti Harmoni

Verity or Illusion?: Interfaith Dialogue Between Christian and Muslim in the Philippines

IKLAN ANDA

IKLAN ANDA

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis.Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis.