Salim Said dan Potret Kiprah Para Elit Politik Indonesia

Sabtu, 18 Mei 2024 malam, Indonesia bersedih karena kehilangan salah satu pencatat sangat baik pergerakan para elite politiknya sejak jaman Belanda hingga Reformasi
Alm. Salim Haji Said (Perpusnas)

Dialah almarhum Salim Said. Seperti diberitakan di banyak media, Salim Said menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta di usia 80 tahun.

Tidak gampang mendudukkan Salim Haji Said, nama lengkapnya, dalam jenis orang dengan kepiawaian macam apa di Republik ini. Banyak bidang dimasukinya dan di situ hampir semuanya mumpuni. Ia pernah menjadi pemain teater, karena memang pernah kuliah di kampus Akademi Teater Nasional Indonesia dari tahun 1964 hingga 1965. Lantas dunia kewartawanan dikecapnya dengan bergabung beberapa penerbit berita mulai dari Pelopor Baru, Angkatan Bersenjata, hingga Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo. Lalu kepiawaiannya di bidang seni juga tidak tanggung-tanggung, sesuatu yang kemudian mengantarkannya menjadi Ketua Dewan kesenian Jakarta (DKJ) selama lebih kurang 10 tahun sejak tahun 1989. Dia dikenal sebagai kritikus film mumpuni yang muncul lewat tulisan-tulisannya, termasuk muncul di Tempo.

Konferensi di Unibraw: Fenomena Peningkatan Peran Perempuan dan Bapak Rumah Tangga 

Ketika Gus Dur berkuasa, sebenarnya dia ditawari untuk menduduki Gubernur Lemhanas, namun ditolaknya dengan alasan dia tahu diri bukan berlatar belakang militer, sementara di Lemhanas banyak bercokol petinggi militer. Tidak ketinggalan, dunia politik luar negeri juga digaetnya tatkala ditugaskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi duta besar Indonesia untuk Republik Ceko. Ia ditugaskan menduduki jabatan itu selama tiga setengah tahun lamanya (2006-2010). Satu lagi, bagi kalangan akademisi, pasti semua akan angkat topi dengan jenjang pendidikan yang ditempuhnya hingga lulus doktor dari Ohio State University di bidang Ilmu Politik di bawah bimbingan Indonesianis terkenal, William Liddle dan selesai tahun 1985.

Beragam perlintasan karir dalam kehidupannya inilah yang membuatnya layak memiliki otoritas ketika membincangkan kehidupan para elit Indonesia sejak jaman Belanda hingga Reformasi. Analisis sosiologis dan sejarahnya dalam bidang ini diperlihatkannya dalam serangkaian wawancara dengan para youtuber yang ramai belakangan ini, semisal Refli Harun, Akbar Faizal dan lain-lain. Belum lagi dalam forum-forum yang mengundangnya sebagai pembicara. Dalam setiap wawancara itu, tuturnya begitu jelas memposisikan para elit politik, termasuk militer, di Indonesia dalam melintasi jamannya.

Tidak salah memang, ia misalnya salah satu intelektual yang berani dengan menulis kiprah Soedirman, sang panglima tentara pertama kali di dunia kemiliteran. Disertasinya yang kemudian dijadikan buku dengan judul, Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945-49 (Allen & Unwin, 1992) menjelaskan betapa kompromi-kompromi para elit politik dan militer paska kemerdekaan. Mengapa Pak Dirman yang hanyalah seorang guru di Purwokerto dan kemudian mengikuti pendidikan PETA, lebih dipilih menjadi panglima tentara ketimbang jebolan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) seperti Urip Sumoharjo, atau bahkan Nasution? Penjelasannya ada dalam buku tersebut.

Prodi D3 Penerbitan Politeknik Negeri Jakarta dan Gerakan Pemuda Ansor Pasir Putih Selaraskan Industri Wisata dengan Warga

Begitu pula secara jernih Salim Said mendudukkan Soekarno dalam kemelut politik di tahun-tahun Demokrasi Terpimpin hingga kejatuhannya. Dalam berbagai wawancara, Salim Said menyebut ide nasionalis, agama dan komunis (Nasakom) merupakan gagasan kreasi Soekarno yang terus digelorakan Soekarno walaupun di lapangan ketiganya tidak mudah bersatu. 
Mengapa Pak Dirman yang hanyalah seorang guru di Purwokerto dan kemudian mengikuti pendidikan PETA, lebih dipilih menjadi panglima tentara ketimbang jebolan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) seperti Urip Sumoharjo, atau bahkan Nasution?
Imajinasi bersatunya tiga kekuatan budaya dan politik itulah yang membuat Soekarno dianggap gamang, termasuk pada kelompok-kelompok yang bertikai dalam selubung Nasakom tersebut. Akibatnya publik marah dan melakukan aksi yang memaksa Soekarno untuk membubarkan PKI setelah terjadinya pembantaian para jendral TNI Angkatan Darat, 30 September 1965. Akan tetapi, Soekarno tetap yakin ketiga kekuatan itu berjasa pada negeri ini. “Soekarno hanya cinta pada diri sendiri dan gagasannya”, begitu kalimat Salim Said dalam sebuah wawancara di channel youtube.

Di akhir hayatnya, kesibukannya mengedukasi anak bangsa dengan sejarah pergerakan elit politik tidak berkurang selain menjadi pengajar di Universitas Pertahanan (Unhan). Berbagai undangan seminar dan wawancara terus dijalaninya. Hingga tiba-tiba mendengar kabar itu. Selamat jalan, anre guru!

MN, dari berbagai sumber.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama