Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia termasuk salah satu Menteri yang paling sibuk akhir-akhir ini. Inisiatifnya untuk membangun industri di Pulau Rempang ditolak warga. Berkali-kali ia menjelaskan pentingnya foreign direct investment (FDI) bagi Indonesia dan kesempatan investasi dari para investor luar negeri tidak boleh terlewat. Peluang investasi dari luar negeri ibarat peluang emas. Di lain pihak, investor juga maunya cepat terealisasi. Namun fakta di lapangan berkata lain.
Di lokasi, masyarakat Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, menolak rencana pembangunan industry itu pada awal September lalu. Mereka menolak karena bakal terkenal relokasi atau pengosongan lahan. Terdapat sekitar 16 kampung adat Melayu yang terancam pindah dari tempat menetapnya sekarang. Kampung-kampung adat ini akan dipaksa pindah mengingat wilayah mereka akan dijadikan kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata yang terintegrasi. Pengembangan kawasan ini diberi nama Kawasan Rempang Eco-City yang merupakan proyek pemerintah pusat melalui kerja sama antara Badan Pengusahaan (BP) Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG). Informasi yang beredar, PT MEG di bawah naungan Artha Graha Group yang dimiliki Tomy Winata. Pengusaha nasional ini menggandeng Xinyi Group asal China.
Proyek Kawasan Rempang Eco-City ini ditaksir memiliki nilai investasi mencapai Rp 381 triliun hingga tahun 2080. Perhitungan ini menurut Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Tidak lupa, KPPIP juga melaporkan, pada semester dua 2022, sebanyak 18 proyek strategis nasional (PSN) dinyatakan telah selesai. Dengan demikian, jumlah PSN yang telah selesai sejak tahun 2016 hingga tahun 2022 menjadi 153 proyek dengan total nilai investasi sebesar Rp 1.040 triliun.
Di Rempang, pemerintah dan investor inginnya serba cepat dan meminta proses pengosongan lahan dipenuhi sampai dengan tanggal 28 September 2023. Namun masyarakat tetap menolak keras. Akhirnya bentrok warga dengan aparat pun terjadi pada tanggal 7 September 2023 yang berujung penggunaan gas air mata. Kerusuhan pun memuncak antara aparat kepolisian yang didukung oleh tentara dengan massa yang menolak relokasi. Akibat kejadian itu, sejumlah warga ditahan polisi.
Kritik pun bermunculan atas sikap pemerintah yang memaksakan investasi dengan dalih proyek strategis nasional itu. Tidak terkecuali dari kalangan anggota DPR. Secara tersirat, penyesalan beberapa anggota dewan atas terjadinya kericuhan di Rempang karena proyek industri tersebut belum melibatkan proses sosial yang memastikan adanya kerelaan dari warga sekitar lokasi investasi. Pendekatan terhadap masyarakat Rempang belum menggunakan konsep Social License to Operate (SLO) secara sungguh-sungguh.
Menurut Demuijnck & Fasterling dalam tulisan mereka berjudul The Social License to Operate, yang terbit di Journal of Business Ethics (2016), social License to Operate (SLO) dapat didefinisikan sebagai suatu dasar atau basis kontraktarian untuk sahnya sebuah projek atau aktivitas tertentu suatu perusahaan atau industri. Teori ini diturunkan dari teori kontrak sosial yang menemukan pangkalnya pada cerita filsof klasik Socrates yang rela dihukum penjara karena meyakini idenya. Kerelaannya dipenjara merupakan manifestasi dari berjalannya suatu hubungan yang dilandasi kontrak dan sepersetujuan.
Dalam kenyataannya, pemanfaatan SLO sangat penting pada dunia usaha ekstraktif dan eksploratif-eksploitatif seperti pertambangan, kehutanan dan manufaktur. Kegiatan eksplorasi dan ekstraksi umumnya mengolah lingkungan secara masif serta juga menyinggung kelangsungan hidup masyarakat lokal. Di sinilah pentingnya mengamankan keberterimaan masyarakat lokal.
Peristiwa Rempang mengindikasikan lemahnya penerapan konsep SLO tersebut, sehingga upaya untuk percepatan investasi di kawasan itu menjadi kurang berjalan maksimal.
MN, dari berbagai sumber.