Para Penjaga Singkong dari Sekadar Makanan Biasa

Pada sebuah kegiatan kursus singkat (short course) program internasional yang diselenggarakan oleh salah satu program studi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang berlangsung beberapa minggu lamanya beberapa tahun silam, di hari-hari awal salah seorang peserta merasakan hal yang mulai membosankan dengan menu makanan yang disediakan panitia. Memang lauk pauk berganti-ganti. Hanya dalam beberapa hari itu, selalu tersedia makanan singkong rebus di atas meja, bersanding dengan menu makanan lainnya.


Peserta ini sedikit terasa lega setelah singkong menghilang di hari kelima tanpa tahu musababnya. Hidangan penutup kemudian diganti dengan jenis makanan tradisional lain. Bagi salah satu peserta asal Indonesia ini, digantinya singkong dengan jenis makanan olahan lain tentu suatu hal yang menggembirakan. Sungguh panitia bisa membaca isi hatinya, yang sudah mulai sedikit bosan dengan singkong rebus. Begitu pikirnya.

Namun rupanya raibnya singkong itu justru membuat gelisah salah satu peserta dari Uganda. Hal ini tertemukan manakala singkong rebus itu kembali dimunculkan panitia sekitar seminggu setelah ketidakhadirannya. Betapa girangnya peserta dari Uganda ini setelah melihat singkong kembali. Rupanya ia menunggu-nunggu sekali datangnya singkong itu kembali, dan mulai bosan dengan nasi beras. Ia tampak bahagia dan menyampaikan protesnya mengapa kemarin-kemarin tidak ada singkong. Peserta dari Indonesia yang semula bosan dengan singkong rebus itu hanya bisa tertegun menyaksikan girang bercampur amarah peserta dari Uganda ini karena panitia meraibkan singkong rebus kurang lebih seminggu lamanya. Peserta dari Uganda ini bertutur, singkong makanan pokok sebagian masyarakat Afrika, termasuk dirinya dan masyarakat Uganda.

Para penjaga singkong dari anggapan sekadar makanan biasa ini ternyata juga dapat ditemukan pada masyarakat di kawasan kampung adat Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat. Di komunitas Sunda Wiwitan ini, singkong didudukkan di tempat terhormat. Mereka menjadikan makan singkong sebagai bagian dari keyakinan yang harus dipertahankan. 

Singkong sebagai makanan pokok. Para tokohnya hanya khusus mengonsumsi singkong sebagai makanan utama, yang sudah dibentuk seperti butiran beras. Mereka menyebutnya rasi alias beras singkong. Di wilayah lahan adat mereka, hamparan kebon singkong cukup untuk menjamin ketersediaan makanan pokok mereka terpenuhi.

Di tempat workshop komunitas ini juga tersedia dapur untuk mengolah makanan olahan dari singkong. Di dapur ini, pengunjung bisa melihat proses masaknya secara langsung dan membeli makanan khas olahan dari singkong yang tersedia di komunitas ini.

Komunitas ini juga menyediakan paket wisata lingkungan alias ecotourism. Wisatawan yang ingin menjajal rasi dapat memesannya termasuk sekalian dengan menginap di homestay yang menyatu dengan komunitas adat ini. Selain mencicipi rasi, pengunjung juga bisa menikmati hawa segar dengan naik di puncak bukit sambil memandangi Kota Bandung dari kejauhan. Bagi yang ingin mengetahui lebih dalam tentang budaya Sunda klasik juga tak ketinggalan dapat bertanya-tanya di sini.

Hardadi, pemilik usaha singkong keju D-9 dari Salatiga juga tak boleh dilewatkan sebagi salah satu penjaga singkong dari sekadar makanan biasa. Dirinya boleh dibilang berhasil menaikkan kembali pamor singkong dan di tangannya, singkong pun menjadi naik kelas. Usaha singkong kejunya terus tumbuh dan hampir-hampir menjadi icon Kota Salatiga. Mengunjungi Salatiga seakan belum lengkap tanpa mampir ke kios singkong keju miliknya yang terletak di Jalan Argowiyoto No. 8 Kelurahan Ledok, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga.

Mereka dan kisah-kisahnya hanya segelintir pendekar singkong. Mereka terbukti mampu mempertahankan singkong sebagai makanan yang bukan sekedar makanan biasa.

MN

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama