Menjelang Waisak yang jatuh pada 4 juni 2023 nanti, hari-hari ini publik Indonesia disajikan peristiwa unik yang dilakukan para bhikku. Mereka melakukan perjalanan dengan jalan kaki menuju Candi Borobudur. Disebutkan sejumlah 32 bhikku atau bante dari beberapa negara bersama-sama melakukan ritual thudong, semacam meditasi mengembara yang jamaknya dilakukan para bhikku hutan di Thailand. Mereka singgahi wihara dan tempat milik umat Buddha lainnya di Jakarta dan sekitarnya sebelum melanjutkan perjalanan hingga ke Borobudur. Mereka juga sempat singgah dan disambut oleh pimpinan Direktorat Jendral Agama Buddha Kemenag RI, Supriyadi tanggal 11 Mei 2023 lalu sebagaimana dapat dilansir dari situs website Direktorat Jendral Agama Buddha Kementerian Agama.
Barangkali sebagian publik masih penasaran dengan tradisi bhikkhu hutan di Thailand. Dalam disertasi Kamala Tiyavanisch yang berjudul The Wandering Forest Monks in Thailand, 1900-1992: Ajan Mun’s Lineage (1993), disebutkan bhikkhu pengembara ini mulai berkembang dari daerah utara Thailand yang berbatasan langsung dengan Laos. Secara kultur, Thailand utara dan timur laut dan Laos memiliki kemiripan. Selain secara geografis tinggal di pedalaman, kedudukan orang-orang suci penganut Buddha dihargai sangat tinggi.
Sebelum ditegakkannya institusi agama Buddha di Thailand atau disebut sangha tahun 1902, hegemoni para bhikkhu pertapa dan pengembara di hutan ini sangat kuat. Mereka menjalani meditasi di hutan-hutan dan baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok. Di sela-sela meditasi itu mereka biasanya menjalani ritual thudong, berjalan menyusuri lembah, goa, sungai dan tempat-tempat sunyi lainnya. Tujuannya untuk memperkuat dharma dan melatih pikiran.
Keseharian para bhikkhu hutan ini diisi dengan meditasi dan melatih pikiran. Pada pagi hari mereka keluar dari hutan dengan berpakaian jubah bhikkhu beserta keranjang makanan kosong (alms bowl) untuk mendapatkan makanan dari warga sekitar hutan. Para bhikkhu dilarang untuk memilih meminta makanan kepada orang kaya tertentu misalnya, dan mereka tidak juga diperbolehkan menerima makanan yang secara khusus dibuat untuk para bhikkhu ini. Makanan yang diterima dari umat merupakan makanan yang juga dimakan oleh umat. Sekembalinya ke hutan, para bhikkhu kemudian menikmati makanan pemberian warga yang ada di keranjang masing-masing. Biasanya mereka saling berbagi makanan di antara mereka dari hasil pemberian umat. Apabila berlebih, makanan tersebut dikembalikan lagi ke umat.
Tradisi bhikkhu hutan ini sangat kental dengan sangha Theravada yang mengakar di Sri Lanka dan Thailand. Keberadaan mereka di hutan-hutan itu juga turut mengajarkan kepada masyarakat desa di sekitar hutan tentang pentingnya terbangun relasi yang baik antara hutan dan manusia. Mereka turut menjaga kelestarian hutan termasuk binatang-binatang di dalam hutan.
Dibentuknya sangha langsung di bawah kendali raja di Thailand tahun 1902 diikuti didirikannya wihara-wihara di kota membuat Agama Buddha makin terlembaga dan terpusat. Organisasi para bhikkhu ini diatur sedemikian rupa dan tidak lagi terkesan liar di bawah kendali para bhikkhu senior di hutan-hutan. Lalu muncul sedikit perbedaan antara bhikkhu hutan dan bhikkhu sangha yang berada di wilayah perkotaan.
Posisi bhikkhu hutan makin lemah setelah modernisasi dan pembangunan pertanian di desa digalakkan pemerintah Thailand tahun 1960an hingga 1970an. Beberapa tuduhan malah dimunculkan para bhikkhu pertapa dan pengembara di hutan ini membangkang dan dituduh pendukung kelompok komunis. Lama kelamaan otoritas para bhikkhu hutan ini pun menurun. Masyarakat tidak lagi menganggap bhikkhu pertapa sebagai orang-orang suci yang mempunyai otoritas yang kuat seperti era-era sebelumnya. Mereka belakangan hanya dilihat sebagai bhikkhu sakti yang bisa memberikan jimat-jimat khusus kepada umat biasa, tidak lagi ditunggu nasihat-nasihatnya.
Generasi bhikkhu hutan kenamaan terakhir di Thailand, ajahn Chah yang meninggal tahun 1994 merasakan dirinya dipandang hanya sebagai monyet yang dipasangi tali. Masyarakat bahkan menungguinya untuk berjumpalitan, menyorakinya dan menunjuk-nunjukkan jari tangan padanya. Ketika lelah, dan beristirahat, masyarakat melemparinya dengan pisang.
Ritual thudong yang sekarang menuju candi Borobudur ini mungkin saja mampu menegakkan kembali posisi tawar para bhikkhu pertapa dan pengembara di hutan dengan disesuaikan kondisi kekinian. Apalagi dijadwalkan mereka akan juga singgah di pesantren. Unsur kekiniannya makin kuat selagi terlihat dalam perjalanan mendapatkan pengawalan dari kelompok-kelompok masyarakat selain penganut Agama Buddha.
MN, dari berbagai sumber.
Sumber: https://bimasbuddha.kemenag.go.id/dirjen-bimas-buddha-melepas-robongan-thudong-menuju-candi-borobudur-berita-1071.html |
Barangkali sebagian publik masih penasaran dengan tradisi bhikkhu hutan di Thailand. Dalam disertasi Kamala Tiyavanisch yang berjudul The Wandering Forest Monks in Thailand, 1900-1992: Ajan Mun’s Lineage (1993), disebutkan bhikkhu pengembara ini mulai berkembang dari daerah utara Thailand yang berbatasan langsung dengan Laos. Secara kultur, Thailand utara dan timur laut dan Laos memiliki kemiripan. Selain secara geografis tinggal di pedalaman, kedudukan orang-orang suci penganut Buddha dihargai sangat tinggi.
Sebelum ditegakkannya institusi agama Buddha di Thailand atau disebut sangha tahun 1902, hegemoni para bhikkhu pertapa dan pengembara di hutan ini sangat kuat. Mereka menjalani meditasi di hutan-hutan dan baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok. Di sela-sela meditasi itu mereka biasanya menjalani ritual thudong, berjalan menyusuri lembah, goa, sungai dan tempat-tempat sunyi lainnya. Tujuannya untuk memperkuat dharma dan melatih pikiran.
Keseharian para bhikkhu hutan ini diisi dengan meditasi dan melatih pikiran. Pada pagi hari mereka keluar dari hutan dengan berpakaian jubah bhikkhu beserta keranjang makanan kosong (alms bowl) untuk mendapatkan makanan dari warga sekitar hutan. Para bhikkhu dilarang untuk memilih meminta makanan kepada orang kaya tertentu misalnya, dan mereka tidak juga diperbolehkan menerima makanan yang secara khusus dibuat untuk para bhikkhu ini. Makanan yang diterima dari umat merupakan makanan yang juga dimakan oleh umat. Sekembalinya ke hutan, para bhikkhu kemudian menikmati makanan pemberian warga yang ada di keranjang masing-masing. Biasanya mereka saling berbagi makanan di antara mereka dari hasil pemberian umat. Apabila berlebih, makanan tersebut dikembalikan lagi ke umat.
Tradisi bhikkhu hutan ini sangat kental dengan sangha Theravada yang mengakar di Sri Lanka dan Thailand. Keberadaan mereka di hutan-hutan itu juga turut mengajarkan kepada masyarakat desa di sekitar hutan tentang pentingnya terbangun relasi yang baik antara hutan dan manusia. Mereka turut menjaga kelestarian hutan termasuk binatang-binatang di dalam hutan.
Dibentuknya sangha langsung di bawah kendali raja di Thailand tahun 1902 diikuti didirikannya wihara-wihara di kota membuat Agama Buddha makin terlembaga dan terpusat. Organisasi para bhikkhu ini diatur sedemikian rupa dan tidak lagi terkesan liar di bawah kendali para bhikkhu senior di hutan-hutan. Lalu muncul sedikit perbedaan antara bhikkhu hutan dan bhikkhu sangha yang berada di wilayah perkotaan.
Posisi bhikkhu hutan makin lemah setelah modernisasi dan pembangunan pertanian di desa digalakkan pemerintah Thailand tahun 1960an hingga 1970an. Beberapa tuduhan malah dimunculkan para bhikkhu pertapa dan pengembara di hutan ini membangkang dan dituduh pendukung kelompok komunis. Lama kelamaan otoritas para bhikkhu hutan ini pun menurun. Masyarakat tidak lagi menganggap bhikkhu pertapa sebagai orang-orang suci yang mempunyai otoritas yang kuat seperti era-era sebelumnya. Mereka belakangan hanya dilihat sebagai bhikkhu sakti yang bisa memberikan jimat-jimat khusus kepada umat biasa, tidak lagi ditunggu nasihat-nasihatnya.
Generasi bhikkhu hutan kenamaan terakhir di Thailand, ajahn Chah yang meninggal tahun 1994 merasakan dirinya dipandang hanya sebagai monyet yang dipasangi tali. Masyarakat bahkan menungguinya untuk berjumpalitan, menyorakinya dan menunjuk-nunjukkan jari tangan padanya. Ketika lelah, dan beristirahat, masyarakat melemparinya dengan pisang.
Ritual thudong yang sekarang menuju candi Borobudur ini mungkin saja mampu menegakkan kembali posisi tawar para bhikkhu pertapa dan pengembara di hutan dengan disesuaikan kondisi kekinian. Apalagi dijadwalkan mereka akan juga singgah di pesantren. Unsur kekiniannya makin kuat selagi terlihat dalam perjalanan mendapatkan pengawalan dari kelompok-kelompok masyarakat selain penganut Agama Buddha.
MN, dari berbagai sumber.