Ya, Betul. Hati Suhita. Pekan-pekan ini, film tersebut sedang diputar di bioskop-bioskop besar di berbagai kota di Tanah Air. Karena seperti diramaikan di publik bahwa film ini lekat dengan suasana dunia pesantren, maka tidak heran jika target penontonnya mungkin para mantan santri alias alumni pesantren atau kalangan awam yang tertarik menelisik lebih jauh dunia santri dan kepesantrenan, lebih tepatnya keluarga pimpinan pesantren. Ternyata tidak mudah menjadi pimpinan pesantren, apalagi menentukan calon generasi penerus pesantren. Begitulah kira-kira gumam Aisyah (bukan nama sebenarnya) sehabis menonton film itu di suatu bioskop di bilangan Kota Tangerang, Banten. Tidak sembarang sosok rupanya dipandang layak memimpin pesantren, imbuhnya.
Orang awam di kalangan santri tidak salah menilai, keluarga kyai memiliki sedikit kemiripan dengan keluarga kerajaan. Sebutlah Kerajaan Inggris dengan Pangeran Charles-nya, atau yang sekarang bergelar King Charles III. Calon penerus kerajaan Inggris begitu penting bagi keluarga dan rakyat Kerajaan Inggris. Serupa, seperti apa dan bagaimana kepemimpinan pesantren berlanjut rupanya menjadi pekerjaan rumah bagi pimpinan pesantren yang diseriusi. Siapa sosok yang layak memimpin pesantren di masa mendatang mengundang tanya, tidak peduli laki-laki ataupun perempuan. Di sinilah kesetaraan gender berbicara dalam film ini lewat tampilnya sosok santriwati bernama Suhita.
Kebetulan Hati Suhita mengaitkannya dengan problem pilihan pasangan hidup bagi seorang sosok anak laki-laki kyai, yang dalam konteks Jawa Timur biasa dipanggil Gus. Barometernya bukan semata rasa cinta, melainkan juga nilai kepantasan untuk mengembangkan atau minimal melestarikan lembaga pesantren yang telah berdiri dan dikembangkan oleh generasi tua di dalam pesantren. Alina Suhita adalah sosok istri pilihan orang tua Gus Birru, anak kyai yang digambarkan sangat terobsesi dengan dunia Barat, juga wacana kebarat-baratan yang dikenalnya sewaktu aktif di gerakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Tempat kuliahnya ini dapat dilacak paling tidak dari jaket almamater yang dikenakannya sewaktu demonstrasi. Suhita adalah santri yang mondok di pesantren orangtuanya dan dipilihkan untuknya. Kisah selanjutnya bak drama Korea, bagaimana Suhita mampu meluluhkan hati suaminya itu yang sudah terkontaminasi kehidupan luar pesantren yang digambarkan hanya memikirkan kepantasan dan selera individu.
Namun ada adegan yang agak klasik ditampilkan sosok perempuan muda milenial Suhita yang bukan disorot karena kepandaiannya dan kecerdasannya dalam memimpin pesantren seperti diidam-idamkan oleh mertuanya, apalagi penampilan dan gaya berdandannya. Di sini bedanya. Ketika konflik batin memuncak, dalam film tersebut, Alina Suhita justru malah mengunjungi makam-makam keramat yang sejak dahulu kala oleh kalangan Muslim di Jawa dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Dimulai dari kunjungan ke Makam Kyai Kasan (Hasan) Besari di Tegalsari Ponorogo, yang dipercaya merupakan guru dari pujangga Jawa besar Ronggowarsito. Suhita digambarkan mencari kekuatan untuk meneguhkan batinnya yang tak dapat tergambarkan dari kunjungan ke makam keramat tersebut. Laku yang dijalani perempuan muda millennial ini disebut dalam film itu sebagai tabarrukan, mencari berkah dari waliyullah Kyai Kasan Besari. Sebuah istilah dan sekaligus ritual yang khas bagi kalangan Muslim Jawa.
Pada adegan yang lain, dalam suasana batin yang masih belum mereda akibat suaminya ternyata masih memendam rasa cinta dengan mantan pacarnya, Ratna Rengganis, Suhita mengajak Aruna, sahabatnya di pondok yang berasal dari keluarga kaya, dengan mengendarai mobil sport untuk mengantarkannya ke makam Sunan Pandanaran yang berada di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah atau dikenal dengan Sunan Tembayat. Di sini sekali lagi adegan dialog dalam keheningan untuk mencari berkah dari Sunan Tembayat berlangsung. Perenungan dan dialog batin rupanya sangat penting, seperti dilukiskan dalam film yang diangkat dari novel karya Khilma Anis ini, ketika mendatangi makam orang yang dikeramatkan. Suhita sepertinya menumpahkan segala kekecewaannya atas perlakuan suaminya kepadanya pada roh waliyullah tersebut. Sebetulnya, Suhita juga masih memimpikan suatu saat dapat tabarrukan ke makam Sunan Kudus bersama suaminya yang belum kesampaian.
Suhita yang digambarkan calon pemimpin pesantren masa depan, yang telah berhasil melakukan perombakan kurikulum dan gaya kepemimpinan pesantren di Al Anwar, Kediri, Jawa Timur disertai terobosan lewat dunia digital itu rupanya masih sangat mempercayai bimbingan spiritual para wali Allah yang telah mengajarkan kemuliaan agama di tanah Jawa pada jaman dulu itu.
Endingnya, dibarengi terus dengan permohonannya kepada Allah Taala, disertai upayanya untuk terus bersabar dan melayani suaminya saat jatuh sakit di tengah hati suaminya yang masih belum menerimanya sebagai istri sepenuhnya, pelan namun pasti hati suaminya luluh. Film pun ditutup dengan scene Candi Bajang Ratu, peninggalan Kerajaan Majapahit di Triwulan, Mojokerto.
MN
Orang awam di kalangan santri tidak salah menilai, keluarga kyai memiliki sedikit kemiripan dengan keluarga kerajaan. Sebutlah Kerajaan Inggris dengan Pangeran Charles-nya, atau yang sekarang bergelar King Charles III. Calon penerus kerajaan Inggris begitu penting bagi keluarga dan rakyat Kerajaan Inggris. Serupa, seperti apa dan bagaimana kepemimpinan pesantren berlanjut rupanya menjadi pekerjaan rumah bagi pimpinan pesantren yang diseriusi. Siapa sosok yang layak memimpin pesantren di masa mendatang mengundang tanya, tidak peduli laki-laki ataupun perempuan. Di sinilah kesetaraan gender berbicara dalam film ini lewat tampilnya sosok santriwati bernama Suhita.
Kebetulan Hati Suhita mengaitkannya dengan problem pilihan pasangan hidup bagi seorang sosok anak laki-laki kyai, yang dalam konteks Jawa Timur biasa dipanggil Gus. Barometernya bukan semata rasa cinta, melainkan juga nilai kepantasan untuk mengembangkan atau minimal melestarikan lembaga pesantren yang telah berdiri dan dikembangkan oleh generasi tua di dalam pesantren. Alina Suhita adalah sosok istri pilihan orang tua Gus Birru, anak kyai yang digambarkan sangat terobsesi dengan dunia Barat, juga wacana kebarat-baratan yang dikenalnya sewaktu aktif di gerakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Tempat kuliahnya ini dapat dilacak paling tidak dari jaket almamater yang dikenakannya sewaktu demonstrasi. Suhita adalah santri yang mondok di pesantren orangtuanya dan dipilihkan untuknya. Kisah selanjutnya bak drama Korea, bagaimana Suhita mampu meluluhkan hati suaminya itu yang sudah terkontaminasi kehidupan luar pesantren yang digambarkan hanya memikirkan kepantasan dan selera individu.
Namun ada adegan yang agak klasik ditampilkan sosok perempuan muda milenial Suhita yang bukan disorot karena kepandaiannya dan kecerdasannya dalam memimpin pesantren seperti diidam-idamkan oleh mertuanya, apalagi penampilan dan gaya berdandannya. Di sini bedanya. Ketika konflik batin memuncak, dalam film tersebut, Alina Suhita justru malah mengunjungi makam-makam keramat yang sejak dahulu kala oleh kalangan Muslim di Jawa dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Dimulai dari kunjungan ke Makam Kyai Kasan (Hasan) Besari di Tegalsari Ponorogo, yang dipercaya merupakan guru dari pujangga Jawa besar Ronggowarsito. Suhita digambarkan mencari kekuatan untuk meneguhkan batinnya yang tak dapat tergambarkan dari kunjungan ke makam keramat tersebut. Laku yang dijalani perempuan muda millennial ini disebut dalam film itu sebagai tabarrukan, mencari berkah dari waliyullah Kyai Kasan Besari. Sebuah istilah dan sekaligus ritual yang khas bagi kalangan Muslim Jawa.
Pada adegan yang lain, dalam suasana batin yang masih belum mereda akibat suaminya ternyata masih memendam rasa cinta dengan mantan pacarnya, Ratna Rengganis, Suhita mengajak Aruna, sahabatnya di pondok yang berasal dari keluarga kaya, dengan mengendarai mobil sport untuk mengantarkannya ke makam Sunan Pandanaran yang berada di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah atau dikenal dengan Sunan Tembayat. Di sini sekali lagi adegan dialog dalam keheningan untuk mencari berkah dari Sunan Tembayat berlangsung. Perenungan dan dialog batin rupanya sangat penting, seperti dilukiskan dalam film yang diangkat dari novel karya Khilma Anis ini, ketika mendatangi makam orang yang dikeramatkan. Suhita sepertinya menumpahkan segala kekecewaannya atas perlakuan suaminya kepadanya pada roh waliyullah tersebut. Sebetulnya, Suhita juga masih memimpikan suatu saat dapat tabarrukan ke makam Sunan Kudus bersama suaminya yang belum kesampaian.
Suhita yang digambarkan calon pemimpin pesantren masa depan, yang telah berhasil melakukan perombakan kurikulum dan gaya kepemimpinan pesantren di Al Anwar, Kediri, Jawa Timur disertai terobosan lewat dunia digital itu rupanya masih sangat mempercayai bimbingan spiritual para wali Allah yang telah mengajarkan kemuliaan agama di tanah Jawa pada jaman dulu itu.
Endingnya, dibarengi terus dengan permohonannya kepada Allah Taala, disertai upayanya untuk terus bersabar dan melayani suaminya saat jatuh sakit di tengah hati suaminya yang masih belum menerimanya sebagai istri sepenuhnya, pelan namun pasti hati suaminya luluh. Film pun ditutup dengan scene Candi Bajang Ratu, peninggalan Kerajaan Majapahit di Triwulan, Mojokerto.
MN